Berita Terbaru!! :
Home » , » LCO: Dosen PHP?

LCO: Dosen PHP?

Admin by Yasir Bakekok on Saturday, 26 January 2013 | 23:31


Lebih dari seribu delapan ratus detik aku duduk di atas kursi kayu yang keras sambil memainkan pulpen snowman tindisku. Sesekali kulirik teman-temanku yang berwajah masam dengan bibir yang melengkung ke bawah. Mahasiswa bertubuh gemuk yang menghalangi pandanganku dari white board sudah gelisah, terlihat dari cara duduknya yang membuat kursi kayu kaku seperti kursi goyang. Sebagian dari puluhan mahasiswa di kelas ini mulai mengeluarkan handphone mereka.

Handphone merupakan pelarian dari rasa kebosanan yang membelenggu manusia ketika kegiatan yang mereka lakukan hanya sebatas menunggu. Beberapa mahasiswi tertawa terbahak-bahak dalam sebuah lingkaran. Aku menyebut mereka aliran gosipisme dimana para penganut aliran tersebut wajib membawa berita yang kebenarannya masih perlu dipertanyakan dalam setiap pertemuan. Pertemuan mereka bisa terjadi kapan saja, ketika ada salah satu penganutnya membuka ‘diskusi’ dengan topik yang menyegarkan. Biasanya diadakan pada saat jam-jam kosong seperti ini, ketika dosen yang ditunggu-tunggu kehadirannya tidak menampakkan batang hidungnya. Lalu mereka akan tampak seperti sekumpulan lebah jadi-jadian yang mendengung kencang dan membuat sesak telinga. Tempatnya juga bisa dimana saja. Tidak peduli di depan umum, di toilet, di kantin atau dimana saja. Jika diizinkan pun mereka bisa gunakan neraka sebagai tempat ‘diskusi’ mereka.

Aku bosan. Menunggu dosen yang tidak memberi kepastian sama saja menunggu pacar mengucapkan kata putus di ujung telepon. Masih bagus kalau teleponnya tidak ditutup mendadak. Bagaimana tidak? Kau berusaha mati-matian bangun pagi untuk melangkahkan jiwa dan ragamu ke ruang kuliah tapi yang kau dapat hanya bangku dosen yang kosong? Yang benar saja! Sama saja dengan pengorbananmu mengunjungi pacar di rumahnya pada hari sabtu malam di saat badai menghadang dan mendapati rumahnya kosong!

“Tunggu saja. Masih ada satu setengah jam lagi.” Begitulah kalimat seorang ketua tingkat yang mencoba bersikap bijak ketika ditanya mengenai keberadaan dosen yang harusnya tiba tiga puluh menit yang lalu. Wajah ketua tingkat pias. Macam penagih hutang dia, sudah berulang kali menghubungi nomor dosen namun terus saja diabaikan.

“Ah, harusnya kita sudah mendapatkan materi sejak tadi!” seorang mahasiswi yang aktif bertanya di sebelahku mengeluh entah pada siapa. Mungkin pada tumpukan kamus yang sama bosannya di hadapannya.

Jepret. Silau. Jepret. Blitz-nya menyilaukan mata. Duh, sudah pasti ini mereka. Para narsisme. Kamera selalu siap di saku kemeja. Entah itu kamera handphone, digital dan lain-lain, asalkan bisa mengabadikan wajah mereka yang dipaksakan cantik dengan bibir yang di-seksi-seksi-kan bak Angelina Jolie, mereka akan senantiasa membawanya. Prinsipnya, setiap moment perlu diabadikan. Bahkan moment membosankan seperti ini pun menjadi ‘moment-wajib-diabadikan’ bagi mereka.

Ada lagi para gamers yang berkerumun dengan tablet-tablet mereka. Entah permainan apa yang sedang mereka mainkan, namun kedengarannya berisik sekali. Di belakang gamers itu, ada seorang mahasiswi pucat sedang menelan tablet berwarna hijau dengan seteguk air gelas. Entah tablet merk apa.

Begitulah. Semua memiliki kesibukan masing-masing saat penantian akan dosen tak kunjung berujung. Dosen kami yang satu itu memang sangat sibuk hingga melupakan keberadaan kami yang setia menunggunya dengan berbagai cara untuk menghibur diri. Mungkin sebagian dari kami merasa senang atas keterlambatan dosen, namun tentu saja sebagian besar merasa dicurangi. Sebagian yang lain merasa jengkel sebab jika mahasiswa yang terlambat, dosen akan ‘menendang’nya keluar. Bagiku itu wajar, toh mahasiswa sendiri yang membutuhkan dosen. Meskipun begitu, rasanya tetap tidak adil.

Banyak yang menyebutnya dosen PHP. PHP sekilas mirip dengan THT, tapi yang mereka maksud bukan sejenis itu. Tidak tahu siapa orang pertama yang mempublikasikan singkatan itu. PHP= Pemberi Harapan Palsu. Biasanya di jejaring sosial, istilah ini dikaitkan dengan manusia-manusia tidak bertanggung jawab yang senang memodusi korbannya. Tidak layak rasanya jika seorang pendidik dijuluki dengan julukan seperti itu, tapi tetap saja julukan itu selalu muncul ketika dosen yang bersangkutan tidak memberi kabar tentang ketidakhadirannya.

Hampir seratus dua puluh menit aku duduk di atas kursi kayu yang keras menahan perut yang mulai bernyanyi akibat dari dua jam yang terlewati tanpa makanan melewati lambung. Perih. Rasanya cairan menjijikkan itu akan segera keluar dari mulutku. Aku segera berdiri, ingin keluar mencari tempat untuk muntah.

“Jangan ada yang keluar ruangan sebelum waktunya habis!” perintah ketua tingkat membuat langkahku terhenti. Sial. Mungkin aku akan membutuhkan tablet hijau si-pucat yang duduk di belakang atau akan kutelan semua tablet para gamers itu.

Aku kembali duduk di atas kursi kayu nan keras. Beberapa mahasiswa protes pada ketua tingkat yang terus-terusan memandangi jam tangannya. Di luar terlihat ramai sekali dengan banyak mahasiswi berteriak-teriak seperti habis menang undian. Salah satu dosen yang pernah memberi mata kuliah umum menyebut mereka dengan ‘spesies kampungan’.

Beberapa menit lagi sebelum jam kuliah habis. Semua mahasiswa di kelas sudah tidak sabar untuk keluar. Ketua tingkat masih berjaga di depan pintu sambil menatap jam tangannya seakan jam itu bisa meloncat tiba-tiba jika dia mengalihkan pandangannya.

Detik demi detik di menit terakhir bergulir begitu cepat. Mahasiswa sudah bersiap-siap keluar dan bersorak ‘yay, tidak ada dosen!’ namun langkah mereka terhenti oleh munculnya sosok yang ditunggu-tunggu sejak tadi. Suara sepatu hitamnya yang menghantam lantai secara berirama memecah keramaian sampai sunyi yang tersisa. Ketua tingkat sebagai ujung tombak kelas maju ke hadapan dosen yang berdiri di ambang pintu.

“Kenapa semuanya sudah mau pulang?” tanyanya heran. Keningnya yang keriput berkerut.

“Maaf, Bapak terlambat dua jam. Kami semua sudah ingin pulang”

“Nah loh? Saya datang tepat waktu. Kalian tidak punya jadwal ya? Coba periksa baik-baik.”

Bapak dengan kumis tebal itu menengok jam tangannya. Ketua tingkat mengambil jadwal di dalam ranselnya, diikuti beberapa teman yang lain. Aku pun melakukan hal serupa. Ternyata benar, kami semua salah jadwal. (*)



Nama: Gusnita
Tanggal Lahir: 6 Oktoher 1994
Alamat: Jl. Daeng Tata IV
No. HP : 089646721595
Facebook: Gusnita Yahya (http://www.facebook.com/gusnita.yahya)
Twitter: -




Share this article :
0 Komentar
Tweet
Komentar

0 comments :

Sampaikan tanggapan Anda

Tanpa Anda Kami Belum Lengkap