Berita Terbaru!! :
Home » , » LCO: Titip Pesan Bapak

LCO: Titip Pesan Bapak

Admin by Yasir Bakekok on Saturday, 26 January 2013 | 23:31


AKU FATIMAH. Aku mahasiswi tingkat tiga. Mahasiswi biasa yang jika dipandang sekejap mata tak ada apa-apanya, sama sekali tak istimewa. Aku mahasiswi yang datang jauh dari sebuah desa terpencil yang amat jauh dari hiruk pikuk kota Makassar. Desa Bakunge. Pernah mendengar nama desa itu? Desa kecil itu ada di Kecamatan Marioriwawo, Kabupaten Soppeng. Desa yang susah untuk dijangkau, kita harus menyebrang sungai terlebih dahulu untuk bisa sampai ke sana. Sungguh butuh perjuangan keras untuk sampai ke desa itu. Di desa itulah aku belajar di sebuah universitas kehidupan, hingga sekarang ini aku mampu bertahan untuk tetap kuliah di Universitas Negeri Makassar yang sejak dulu kuimpikan.

Universitas Negeri Makassar. Siapa yang tak kenal dengan universitas negeri ini, universitas yang konon katanya sejak dulu sudah berjaya, dan sungguh beruntung aku masih diberi kesempatan untuk bisa mengecap bangku pendidikan sampai perguruan tinggi. Tidak ada yang bisa menduga aku mempunyai takdir seberuntung ini, siapa sangka aku yang hanya seorang anak dari buruh tani yang penghasilannya setiap hari berkisar dua puluh ribu. Dua puluh ribu bagi kalian kaum borjuis tidaklah cukup untuk setiap harinya. Tapi bagiku sekeluarga dua puluh ribu sudah mampu membuat kami menangis haru karena sudah lebih dari cukup untuk memuaskan dahaga perut kami, ya perut bapakku, emakku, aku dan ketiga adik-adikku. Tapi, aku tak pernah sama sekali berontak, “Kenapa aku ditakdirkan menjadi miskin?”, TIDAK !! Tak pernah sama sekali. Karena aku tahu, Tuhan Maha Adil. Aku miskin harta, tapi tidak miskin hati. Aku dilahirkan di keluarga yang sungguh kaya akan hati. Kami tak pernah mengeluh sama sekali dengan keadaan yang serba kekurangan ini.

Ah, aku selalu merindukan tempat itu. Tempat dimana aku dilahirkan, rumah kami yang masih beralaskan tanah, dan dinding-dindingnya yang bapak ambil dari sisa pembangunan orang-orang di kecamatan. Walaupun tiap malam kedinginan karena hanya bisa tidur diatas tikar pandan, kadang pula aku tidur di langgar bersama ketiga adikku diiringin nyanyian reog kodok di samping rumahku. Ah, kalian mungkin akan mengatakan aku bergurau dengan keadaan ekonomi keluarga seperti ini, tapi ketahuilah ini sesuai realitas dan sama sekali tak kubumbui. Di zaman modern seperti sekarang, kalian masih bisa menemui jutaan penduduk Indonesia yang bernasib sama sepertiku.

Tapi, untuk kali ini pemerintah masih mengulurkan tangannya untuk membantu orang sepertiku, aku masih diberi bantuan untuk bisa merasakan indahnya bangku kuliah. Aku bisa menikmati kuliah seperti sekarang, kuliah ditempat berAC, dan ini karena program Bidik Misi. Bidik misi adalah beasiswa yang diperuntukkan untuk orang kurang mampu dan mampu dalam bidang akademik. Setidaknya orang tuaku dikampung tidak harus memikirkan darimana mereka mendapatkan uang untuk bisa membayar SPPku setiap bulannya, begitupun membiayai kehidupanku selama disini. Karena setiap bulannya penerima beasiswa bidik misi ini akan mendapat uang enam ratus ribu setiap bulannya. Sungguh lebih dari cukup untukku, selain itu aku masih biasa mengirimkan seperdua dari uang yang kuterima itu untuk orang tuaku di kampung.

Hidup di kota Makassar yang keras ini tidaklah mudah, terlebih aku harus bisa menahan gengsi dihadapan temanku yang sudah terbiasa dengan hingar bingar kota. Aku harus pura-pura tidak melihat semua yang mereka kenakan, mulai dari baju, celana, tas, gadget dan segala hal mereka yang bermerk. Aku hanya bisa menelan ludah melihat semua pernak-pernik yang mereka pakai. Aku benar-benar harus menelan pil pahit agar tidak memikirkan hal-hal semacam itu.

Aku harus tetap memacu diri pada ambisi utama datang di kota nan keras ini, untuk membuktikan pada mereka, bahwa aku yang anak petani miskin ini bisa bersaing dengan mereka tanpa pernak-pernik yang seakan mereka pamerkan dengan jelas di pelupuk mataku. “Hanya ilmu yang dapat melepaskanmu dari kemiskinan, Nak!”, kata Bapak padaku waktu aku berangkat ke kota ini. Kata itu masih jelas terngiang-ngiang di pikiranku yang sebenarnya sudah dipenuhi dengan seonggok beban yang entah kapan akan lepas.

Seperti yang terjadi sekarang ini, seakan batu besar berhasil dilempar indah mengenai kepalaku ini. Dua hari yang lalu aku menerima surat yang dikirim dari kampung, aku tak berani membukanya, entah kenapa, perasaan aneh seakan menghampiriku untuk membuka isi surat itu. Aku tahu itu ditulis rapi oleh adikku, karena bapak dan emakku buta huruf. Isinya serta merta mengguncangkan  perasaanku yang hari ini baru saja mendapat berita kalau mata kuliah Statistik yang cukup ruwetku mendapatkan nilai tertinggi.  Seketika perasaan senang dan haru itu berubah seratus delapan puluh derajat. Perasaan bangga seorang anak buruh tani terhempas begitu saja karena isi surat itu.

Assalamu alaikum ..

Salam hangat terendah semoga selalu teruntukmu seorang ..

Kakakku yang lembut hatinya, sungguh kami sangat merindukanmu disini ..

Kak, Bapak sekarang sakit keras, kemarin bapak dibawa ke Puskesmas di Kecamatan, kata dokter disana, Bapak harus segera di opname, tapi kami tidak punya uang disini, kalau kakak punya uang lebih beasiswa, kakak tolong kirimkan yah, ini sudah seminggu bapak tidak ke sawah, kasian ibu, kak ..

Doa senantiasa kami haturkan untuk keberhasilanmu di kota kak, salam manis dari Bapak, Emmak, aku, Siti, dan Rohmah J

Wassalam

Surat itu seketika membuat batin ini meronta, Bapakku yang selalu kubanggakan jatuh sakit, dan kami sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa, bagaimana nantinya?  Keluargaku di kampung pasti sedang memutar otak untuk membiayai bapak. Bapak yang kulitnya sudah keriput dengan urat yang mulai timbul karena melawan arus panas dari matahari. Ah sungguh, tidak tega aku melihatnya. Hari ini aku segera pulang !! Harus segera pulang, kupersiapkan segala hal sebelum aku pulang, berpamitan dengan teman se-kost, dengan ibu kost dan bergegas menuju terminal.

Tapi sesampainya di rumah, sungguh bagai halilintar yang menyambar kusaksikan orang ramai-ramai menuju rumah dan Bapak sudah terbujur kaku disana. Sungguh batin ini seketika terguncang !! Kenapa aku baru memutuskan pulang sekarang? Kenapa aku harus lama menunggu membaca surat itu?? Dan kenapa aku harus ada dalam lilit kemiskinan yang membuat orang tercintaku tidak bisa terselamatkan. Semua langsung kosong tak ada sama sekali. Aku pingsan diiringi delusi akan Bapak yang masih menari-nari.

“Hanya ilmu yang dapat melepaskanmu dari kemiskinan, Nak!”
“Hanya ilmu yang dapat melepaskanmu dari kemiskinan, Nak!”

Aku harus tetap kuliah, begitupun dengan adik-adikku ..




Nama : Nurul Inayah Zainuddin
Tanggal lahir : 25 September 1993
Alamat : Jl, Bontobila I, No.1
No.HP : 085 215 470 290
Jurusan/ prodi : Psikologi
NIM : 1171040102
Facebook : Nurul Inayah Zainuddin
Twitter : @NurulInayahZ



Share this article :
0 Komentar
Tweet
Komentar

0 comments :

Sampaikan tanggapan Anda

Tanpa Anda Kami Belum Lengkap