Berita Terbaru!! :
Home » , , » Mengais Rezeki dari Daun Yang Jatuh

Mengais Rezeki dari Daun Yang Jatuh

Admin by Unknown on Saturday 21 July 2012 | 08:46

Umurnya 12 tahun, namun siapa sangka di usianya yang masih belia ia sudah mampu menjadi tulang punggung keluarga. Tepat di bawah sebuah pohon di area gedung Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS), penulis duduk bersama seorang anak yang masih menampakkan wajah lelahnya. 

Soleh, si Office Boy cilik.
Anak itu bernama Soleh. “Soleh nama ku kak,” jawabanya setelah penulis menan­yakan namanya.

Sesekali ia mengangkat kepalanya, kemudian memainkan silet yang ia pegangi di tangannya. Soleh merupakan salah satu office boy (OB) di kampus FBS. Dari beberapa OB lainnya, Soleh lah yang paling muda. Anak ketiga dari lima bersaudara ini mengaku tak lagi bersekolah, ia putus sekolah ketika dirinya menduduki kelas enam SD. Ayahn­ya yang hanya berprofesi sebagai tukang becak motor (bentor) membuat ia dan em­pat saudaranya terpaksa harus putus seko­lah. Beruntung, kakak sulungnya bisa melan­jutkan sekolah hingga Perguruan Tinggi (PT). Dialah yang nantinya diharap bisa memperbaiki nasib adik-adiknya kelak.

Soleh kembali menundukkan kepalanya dan melanjutkan bercerita. Sebenarnya ia sangat ingin melanjutkan sekolahnya. “Saya masih mau sekolah, kalau ada rezeki pasti saya lanjut sekolah lagi, kak,” harapnya.

Se­lain karena terkendala pada ekonomi keluar­ga, ternyata berhentinya Soleh dari sekolah akibat kelalaian gurunya. “Dulu sebenarnya sudah mau lulus di kelas 6 SD kak tapi bapakku sudah tidak mampu untuk sekolahkan saya. Ada juga masalah di sekolah, guruku hilangkan raporku, terus tidak mau tang­gung jawab,” sesalnya.

Jelas sekali keke­cewaan yang nampak dari raut wajah putra pasangan Dg.Gading dan Dg.Singara’ ini. Meski begitu, Soleh tetap tegar melan­jutkan kehidupannya. Berkat ajakan tetang­ganya yang merupakan salah satu pegawai di FBS, ia akhirnya siap mengabdikan dirinya di kampus ungu ini. Gaji yang ia terima se­tiap bulannya tak pernah lupa ia sisihkan untuk orang tuanya.

Bersama sepuluh rekan se-profesinya, saban subuh ia mulai mem­bersihkan halaman kampus di FBS. Soleh baru mulai berhenti bekerja saat menjelang siang. Bagi Soleh setiap daun-daun yang gu­gur ke tanah adalah rezekinya. Dengan dialek kental Makassarnya, Soleh mengungkapkan, orang tuanya tidak pernah melarangnya untuk bekerja. “Dari­pada tidak makan kak, lebih baik kerja begini karena kan digaji juga,” ungkapnya sembari memunguti selembar daun kering yang jatuh tepat di bawah kakinya.

Ia merasa sangat ber­syukur dengan pekerjaannya saat ini, ia juga merasa senang bisa selalu bertemu dengan banyak orang. Entah itu rekan se-profesinya atau para penghuni kampus lain yang ia akui tak satu pun ia kenal.

Terkadang, Soleh ingin sekali menebar senyum pada setiap orang yang selalu ia temui di kampus, namun kera­guan selalu menghampirinya. Takut senyum­nya tak terbalas kala ia mengingat bahwa ia hanya seorang OB. Hampir setiap hari Soleh harus menem­puh jalur Parangtambung-Samata bersama sepedanya yang sudah menghampiri antik. Menempuh jarak sejauh itu tentu membuat­nya lelah. Belum lagi ia harus membersih­kan beberapa area kampus agar tetap terlihat indah dan nyaman untuk dipandang.

“Saya sebenarnya mau beli motor kak, karena ka­lau naik sepeda lama, capek juga kak . Biasa juga kalau saya sudah capek sekali saya ber­malam di pos saja sama pak satpam,” ucap­nya sembari tersenyum.

Tak hanya berkeinginan membeli sepeda motor, Soleh juga ternyata punya impian lain. Bukan cita-cita ingin menjadi polisi, dokter, pilot, atau profesi-profesi lain yang lazimnya diimpikan anak seumurnya. Soleh sangat ingin menjadi seorang pegawai, itulah impian terbesarnya saat ini. “ Saya mau jadi peagawai kak, enak kalau jadi pegawai orang mungkin di'?,” tanyanya pada penulis. (*)


*Andini Ristyaningrum



Share this article :
0 Komentar
Tweet
Komentar

0 comments :

Sampaikan tanggapan Anda

Tanpa Anda Kami Belum Lengkap