Berita Terbaru!! :
Home » , , » Indonesia Lupa "Celana Dalam"nya

Indonesia Lupa "Celana Dalam"nya

Admin by Unknown on Monday 12 November 2012 | 10:03

Mungkin terkesan jorok, ketika saya menganalogikan celana dalam Indonesia itu sama halnya dengan harga diri. Jujur, saya menilai bangsa Indonesia saat ini memang sudah tidak punya rasa malu lagi, mereka harus memakai “celana dalam” bangsa lain lalu menyembunyikan “celana dalam” aslinya demi sebuah gengsi.
Pernyataan ini saya tulis sebagai bentuk kekecewaan saya melihat bangsa Indonesia yang saat ini lebih melestarikan budaya negara lain ketimbang budaya sendiri. Termasuk dalam penggunaan bahasa asing (dalam hal ini bahasa Inggris).

Hal ini bisa dilihat dari menjamurnya tempat kursus atau tempat les bahasa Inggris. Ini mengindikasikan bahwa bahasa Inggris telah mendapat perhatian lebih dibanding bahasa negara sendiri. Alhasil,  penggunaan bahasa Indonesia yang diakui sebagai bahasa nasional kini telah meredup oleh gemerlap bahasa asing.
Belum lagi sikap apatis terhadap bahasa Indonesia semakin nampak. Orang-orang lebih senang mencampur adukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris atau bahkan tidak lagi menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Penyebabnya, kebanyakan diantara kita berpikir bahasa Indonesia adalah bahasa yang tidak gaul dan tidak keren.

Bahasa Indonesia yang semakin tergerus modernisasi. (int)
Sebenarnya jika melirik permasalahan di atas, hanyalah permasalahan klasik. Diskriminasi terhadap bahasa kita sudah lama terjadi, entah kapan bermula yang jelas bahasa asing sudah mengekspansi bahasa negara kita di era modernitas ini.

Mungkinkah bahasa Indonesia sudah tergilas oleh zaman? Pertanyaan ini sebenarnya hanyalah gejolak dalam batin saya. Saya sebagai bagian dari negara ini miris melihat fenomena ini.

Rasanya tidak ingin menyalahkan siapa-siapa dalam problema ini, hanya saja realitas yang nampak, pemerintah Indonesia memang terkesan tak memberi batasan terhadap bahasa asing ini memasuki wilayah kultur kita. Belum lagi, minimnya upaya pemerintah dalam menggiatkan penggunaan bahasa Indonesia. Sehingga, bahasa Inggris yang saat ini menjadi bahasa internasional malah menjadi tren dan lebih diminati.

Lihat saja, di sejumlah tempat pendidikan formal semisal sekolah,  para elemen sekolah berlomba-lomba untuk mendapatkan pengakuan sebagai sekolah bertaraf internasional. Dimana bahasa pengantar yang digunakan, menggunakan bahasa Inggris. Sementara itu, dalam pola pikir  siswa-siswi sekarang ini kedudukan bahasa Indonesia sangatlah rendah jika dibanding dengan bahasa Inggris. Salah satu buktinya jam mengajar untuk mata pelajaran bahasa Inggris acap kali ditemukan lebih banyak “menelan” waktu dibanding mata pelajaran bahasa Indonesia. Apalagi,  kebanyakan orang tua lebih memilih sekolah yang bertaraf Internasional untuk tempat pendidikan anak-anaknya. Tak peduli  mesti merogohkan biaya yang terbilang mahal.

Selain itu, dibeberapa perguruan tinggi juga menerapkan kurikulum yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai mata kuliah umum, ternyata hanya mendapat porsi 2 Sistem Kredit Semester (SKS) untuk semua jurusan, kecuali jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Begitu pula yang terjadi di kampus saya Universitas Negeri Makassar (UNM), animo mahasiswa untuk belajar bahasa Indonesia tergolong rendah terlebih untuk memilih jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Malahan sebaliknya, jurusan Bahasa Inggris membeludak pendaftarnya tiap tahun.

Ironis, di tengah Indonesia sedang ingin membangun citra sebagai negara yang kaya akan bahasa, namun kebanggaan memakai bahasa Indonesia ternyata memalukan. Kita seolah-olah tidak memiliki rasa bangga akan budaya kita sendiri. Bisa saja, kita tidak paham bahwa dengan sikap seperti itu perlahan-lahan akan mematikan pemakaian bahasa Indonesia.

Mungkin tidak ada salahnya jika saya menilai saat ini kita tak lagi memiliki “kemaluan” kepada bangsa lain. Sehingga tak ada gunanya memakai “celana dalam” untuk menutupinya. Ingin rasanya saya menertawakan bangsa ini, ternyata jati diri kita terlalu mudah runtuh. Padahal, bahasa Indonesia adalah identitas bangsa yang menjadi simbolik martabat sekaligus budaya kita, yang semestinya mendapat tempat yang lebih dibanding dengan bahasa-bahasa lainnya.

Pengkhianatan Kepada Negara

Saya menilai polemik bahasa asing yang kerap menjadi tontonan dalam “kandang” kita saat ini tidak terlepas dari kebebasan bangsa asing masuk di negara kita. Sehingga, kita terlena dengan “nina bobo” budaya asing.
ketika mencermati isi sumpah pemuda 28 Oktober 1928, ini adalah sebuah bentuk pengkhiatan besar bagi negara kesatuan Republik Indonesia. Banyak kesepakatan yang sebenarnya dilanggar oleh bangsa Indonesia itu sendiri. Kala itu, pemuda Indonesia menyatukan diri dalam keragaman dan menyamakan diri dalam pengakuan.  “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia”, butir ke-3 Sumpah Pemuda ini, sangat jelas bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu diantara ribuan suku dan latar belakang yang ada di Indonesia.

Menyalin pernyataan dari kekhawatiran Guru Soekarno Putra akan lunturnya budaya bahasa Indonesia pada saat membawakan dialog Budaya di depan siswa dan guru SMA se-Kota Bogor tahun lalu. Menurut putra mantan presiden Indonesia, Soekarno, fakta yang ada saat ini sudah tidak cocok lagi dengan Sumpah Pemuda. Kenyataan sekarang, generasi muda lebih senang memakai bahasa asing di negeri sendiri.
Sementara itu, hal ini juga ditopang dengan adanya Peraturan Presiden (Perpres) Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa di Dalam dan Luar Negeri. Adapun pengecualian diberikan jika negara yang bersangkutan mewajibkan penggunaan bahasa lain.

Tak hanya itu, Undang-undang (UU) no.24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu kebangsaan juga mengatur penggunaan bahasa Indonesia secara detail yang menyatakan bahasa negara adalah bahasa Indonesia.

Jika melihat kedua aturan tersebut, tidak sepantasnya bangsa Indonesia melakukan penistaan terhadap bahasanya sendiri.

Bahasa Indonesia adalah Penguat Nasionalisme, Bukti Kebudayaan

Sekadar mengingatkan, tidak adanya perhatian akan perkembangan bahasa Indonesia menjadi bukti bahwa jiwa nasionalisme kita juga perlu dipertanyakan. Sejumlah ahli membenarkan akan pernyataan tersebut. Salah satunya, Eli kedouri, berpendapat bahwa persatuan bahasa juga sebagai landasan nasionalisme. Alasannya, dikarenakan bahasa adalah media penyampai-dapat berupa gagasan dan lainnya-yang bisa menghubungkan dan mengikat banyak orang dalam kesatuan (Eli kedourie, 1960: 19-20)

Coba perhatikan tingginya nasionalisme yang dimiliki negara-negara tetangga kita. Seperti, China dan Jepang. Kedua negara ini adalah negara yang menjujung tinggi bahasa mereka. Mereka enggan berbahasa internasional ketika menyambut tamu mereka dari luar negeri, namun tetap memakai bahasa aslinya. Hanya, menggunakan jasa penerjemah.

Di kampus saya, pernah datang tamu dari China untuk melakukan kerjasama. Yang membuat saya kagum pada orang China itu, saat berbicara dengan rektor kami, Arismunandar, mereka tetap menggunakan bahasa negaranya. Tidak memakai bahasa Inggris.  Tujuannya tentu adalah memperkenalkan budaya mereka lewat bahasanya.

Andai saja, bangsa Indonesia memiliki jiwa nasionalisme tinggi seperti yang dimiliki bangsa Jepang dan China, maka yakin Indonesia akan bangga kepada kita sebagai bangsanya.

Saya masih teringat perkataan John F. Kennedy yang mengatakan, ‘jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang sudah anda berikan kepada negaramu’. Penafsiran saya, kalaupun kita tidak bisa memberikan apa-apa kepada negara ini, cukup menjaga budaya kita dengan baik. Itu jauh lebih mulia dibanding kita harus “membeli” budaya bangsa lain, lalu kemudian melupakan budaya sendiri. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai nilai-nilai budayanya? Bukan yang memliki jutaan kekayaan material.

Bangun Penguatan ‘Cinta Bahasa Indonesia’

Untuk mencapai segala keinginan agar bahasa Indonesia tetap lestari di tengah terpaan badai globalisasi, tentu sejumlah perencanaan matang harus disiapkan dalam menghadapinya. Usaha maksimal, seyogyanya kita membangun budaya berbahasa Indonesia di awali dengan lingkungan keluarga, hingga menuju lingkungan-lingkungan formal.

Namun, untuk memperbaiki apa yang ada saat ini, banyak hal yang bisa dilakukan. Seperti,  penetapan kurikulum pendidikan secara pasti dari pihak penyelenggara pendidikan, agar kiranya pembelajaran yang diberikan harus berbasis bahasa Indonesia. Begitu pula, kalau saat ini yang ada hanya tempat-tempat kursus bahasa Inggris. Semestinya guru bahasa Indonesia juga berinisiatif membuat program-program kursus tentang bahasa Indonesia.

Bahkan lebih ekstrimnya, pemerintah bisa membuat kebijakan tentang penggunaan bahasa Indonesia. Misalkan saja, ada aturan dari pemerintah untuk pemberian sanksi bagi masyarakat yang tidak menggunakan bahasa Indonesia atau yang mengabaikan bahasa Indonesia karena kepentingan tertentu.

Kita juga bisa melakukan sosialisi program wajib pemakaian bahasa Indonesia. Entah itu, kita memasang pamflet atau baliho di setiap tempat yang kita anggap strategis. Contohnya, di setiap instansi atau kantor kita memasang peringatan untuk menggunakan bahasa Indonesia. ‘Wajib Berbahasa Indonesia’, mungkin seperti itu gambaran tulisan yang bisa dibuat. Cara itu tentu akan efektif untuk mewujudkan atmosfer ke-Indonesia-an kita. Melalui metode itu pula, bukan tidak mungkin kita akan mewujudkan bahasa Indonesia sebagai bahasa Internasional seperti status yang saat ini disandang oleh bahasa Inggris. Apalagi yang saya ketahui saat ini bahasa Indonesia sudah dijadikan mata pelajaran wajib di 45 negara di dunia. Termasuk di Asia seperti Jepang dan China.

Maka dari itu, mari kita bersama melestarikan bahasa Indonesia sebagai aset bangsa yang sangat berharga. Sebagai kedaulatan kita, sebagai bukti kebudayaan kita, sebagai instrumen pemersatu nasionalisme bangsa Indonesia. Karena untuk mewujudkan ‘Menjadi Indonesia’ seutuhnya diperlukan kecintaan akan negara beserta seluruh perangkat-perangkatnya, terkhusus bahasa yang dimiliknya. Semoga tak ada lagi “Celana Dalam” lain yang menganggu ketentraman eksistensi kebahasaan kita.(*)


*Asri Ismail,
Penulis adalah Pimpinan Redaksi Penerbitan LPPM Profesi UNM



Share this article :
0 Komentar
Tweet
Komentar

0 comments :

Sampaikan tanggapan Anda

Tanpa Anda Kami Belum Lengkap