(int) |
Ditetapkannya Syatir sebagai tersangka kasus dugaan korupsi tersebut, tidak serta merta mewajibkannya untuk melepaskan jabatannya sebagai Kepala BAUK. Dalam proses peradilan, seperti yang dijelaskan oleh pakar sekaligus praktisi hukum Heri Tahir, kewenangan pencabutan maupun penghentian jabatan ada pada otoritas instansi yang bersangkutan. “Seseorang baru dicabut jabatannya dan dipecat kalau memang sudah ditetapkan sebagai terpidana minimal 5 tahun,” papar pria yang juga menjabat sebagai Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan (PR III) Bidang Kemahasiswaan ini.
Meskipun demikian, ia berpendapat, penetapan seorang pejabat sebagai tersangka seharusnya sudah menjadi rambu-rambu baginya untuk berhenti sementara waktu dari aktivitas jabatannya. Menurutnya, tugas-tugas jabatan untuk sementara waktu bisa dialihkan kepada orang yang ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas sementara atau wakilnya. Dengan demikian, tersangka yang bersangkutan bisa konsentrasi untuk menjalani pemeriksaaan atas dugaan kasus korupsi yang membelitnya tersebut.
“Kalau sudah seperti itu, ya semestinyalah tidak usah dibebani dulu, supaya bisa lebih konsen menghadapi proses hukum yang berlaku. Karena menghadapi proses hukum itu tidaklah gampang dan butuh waktu lama,” sarannya menunjukkan kasus dugaan korupsi UNM yang sementara ini masih disidik oleh pihak Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Selatan-Barat.
Pria yang merupakan alumnus Fakultas Hukum ini menambahkan, di samping demi menghormati proses hukum yang sedang berjalan, beban moral juga akan ditanggung oleh tersangka. “Saya kira itu persoalan etika, apakah memang pejabat yang bersangkutan mau berhenti sementara waktu atau terus melakukan pekerjaannya,” tegasnya. (*)
*Reporter: Imam Rahmanto