Berita Terbaru!! :
Home » , » Kampus itu Terus-menerus Roboh

Kampus itu Terus-menerus Roboh

Admin by Yasir Bakekok on Friday 29 November 2013 | 08:00

PROFESI-UNM.COM - Kenapa selalu terjadi lagi sih? Kenapa selalu daerah ini lagi sih? Kenapa pelakunya itu-itu saja sih? Kenapa penyebabnya begitu-begitu aja sih? Kenapa sasarannya selalu bangunan kampus milik negara itu saja sih? Shame On You. Sepertinya kampus-kampus itu perlu dilepas statusnya dari negeri ke swasta, biar para pelaku merasakan mahalnya SPP dan Uang Sumbangan Gedung, sehingga tahu betapa susahnya membangun bangunan dari nol dari kocek sendiri. Pasti ada komen klasik,“Tidak semua begitu..jangan dipukul rata..Hanya segelintir..Media terlalu memblow-up...Yang diberitakan yang jelek-jelek saja...”Counter komen klasik,”Tidak akan Tuhan merubah suatu nasib kaumnya terkecuali mereka berusaha merubah nasibnya sendiri”.

Komenter di atas saya petik di sebuah situs yang memberitakan tentang tawuran antar mahasiswa yang baru-baru ini terjadi (lagi) di Makassar. Dengan nada sinis, situs ini memberi judul berita: [Tebak Daerah Mana Hayo?] Bentrokan Mahasiswa, Gedung Kampus Sendiri Dibakar.

Secara akal sehat, tawuran antar mahasiswa yang sering disaksikan masyarakat selama ini, memang bisa memicu komentar-komentar; pilu, miris, pedih, muak, ironi dan malu. Siapa pun orangnya bakalan menyesalkan peristiwa yang kerap menimpa mahasiswa di kota ini. Mengapa situasi semacam ini tak berkesudahan untuk kita saksikan? Mengapa hal tersebut mesti selalu memaksa kita untuk ikut membincangnya? Mengapa harus banyak kata “mengapa”? Karena hal itu terus berulang di dalam institusi yang selama ini dijadikan masyarakat sebagai ruang optimisme, ruang di mana mereka menitipkan anak-anaknya sebagai harapan perubahan hidup, harapan yang kelak bisa mengatasi kehidupan yang–agar tak serupa dengan kehidupan lama–selama ini dialami oleh Bapak-Ibunya.

Secara sekilas ketika kita melewati lokasi kampus tersebut, lalu menudingkan mata ke arahnya, akan tampak bahwa kampus itu baik-baik saja. Bahkan, kalau diamati dari luar sana, diperhatikan dari setiap ruas bangunan yang sedang diciptakannya, orang akan berpikir bahwa betapa seriusnya para pengelola pendidikan di dalam sana. Mereka pada umumnya sedang ngebut membangun, hendak memajukan intstitusinya masing-masing, dan ingin (dengan senang hati) mengatakan kampusnya sebagai ikon di kota ini – paling tidak karena kemegahan bangunannya.

Kalau dihayati sedemikian rupa, memang tampak bahwa kampus-kampus di kota ini sedang berjuang, berlomba memajukan kualitas (bangunan) kampusnya. Itu yang kini tampak. Akan tetapi, dapatkah hal itu dijadikan indikator? Jangan-jangan di dalam sana, juga sekaligus sedang terjadi kebrutalan akademik, sehingga yang tampak lewat kecantikan gedung-gedung yang dipoles sedemikian rupa itu sedang melukai, yakni: hati orang tua yang menitipkan anak-anaknya, kemuliaan ilmu pengetahuan dan niat suci lembaga pendidikan.



Gurunya Fetis, Mahasiswanya Sadis dan Masokis

Ada beberapa kemungkinan yang bisa dijadikan gejala untuk menggeledah musabab kejadian di atas. Kejadian ini bisa disebut lingkaran setan yang setiap saat dapat menutupi dalaman dari apa yang tampak cantik itu. Itulah terlihat di atas ubun-ubun menara-menara tinggi yang terus mendandani dirinya itu. Dari sana mata setiap wajah terkagum-kagum, laiknya menatap seorang wajah gadis yang sedang lewat dihadapannya, dipenuhi balutan make-up dari berbagai merk menutupi wajah aslinya.

Wajah asli kampus adalah lingkungan yang punya tradisi berpikir dan akademik, sehingga di sana telah tersedia wacana universitas atau wacana pengetahuan yang telah siap dipakai untuk disajikan/diisikan ke kepala mahasiswa. Mark Bracher (2009), dalam Lacan, Discourse, and Social Change: Psychoanalytic,Cultural Criticism, menunjukkan bagaimana bekerjanya wacana universitas/pengetahuan serta “Bapak” dari wacana itu secara sembunyi-sembunyi. Kalau dipahami bersama, wacana pengetahuan yang hendak disajikan itu telah termaktub ke dalam undang-undang yang mengatur mengenai pendidikan di bangsa ini. “Bapaknya” adalah ideologi negara (bentuk pendidikan yang dimauai negara) dan pelaksana lapangannya – lewat wacana – adalah aparatus negara; Rektor, Dosen, dan segala perangkat sistem di dalamnya.

Gejala yang dapat dibaca lewat kampus yang tengah terperangkap dalam keelokan tubuh bangunan dan hobi tawuran mahasiswanya di atas sedang tidak menjalankan wacana universitas, juga mengabaikan kehadiran “Sang Bapak”. Di sana, bukan “Bapak” sebagaimana termaktub di dalam cita-cita negara, dalam perundang-undangan yang hadir, akan tetapi “Bapak Lain” yang secara keliru dianggap sebagai “Bapak Asli”. Gejala tersebut, kalau di bawa kepada wacana pskionalisis, menghadirkan perilaku fetis, sadis, maupun masokis. Dilihat dari cara aparatusnya mengelola universitas, kecenderungan yang dialaminya bisa diletakkan pada kasus fetis – subjek yang memberhalakan barang-barang tertentu, seperti maraknya pembangunan menara-menara tinggi, lengkap dengan lampu-lampu diskonya. Sedangkan yang melanda mahasiswanya adalah gejala sadis dan masokis. Gejala ini tampak pada subjek yang senang menyakiti orang lain, merusak bangunan, bahkan senang menyakiti dirinya sendiri – penderita dari gejala tersebut dapat merasakan kenikmatan hidupnya lewat perilaku tersebut.



Menciptakan Hegemoni Baru

Satunya-satunya harapan yang bisa dilakukan adalah menemukan ulang “Sang Bapak” dan menjalankan wacana “Sang Bapak” lewat wacana universitas/pengetahuan. Cara tersebut dapat memastikan jalan yang mau ditempuh oleh sebuah kampus yang baru saja dirusak-rusak oleh gejala (penyakit) yang selama ini membelit dirinya. Dari sinilah wacana bisa hadir – wacana ilmu pengetahuan yang memang seyogyanya dimiliki oleh kampus selama ini – sebagai hegemoni. Hegemoni yang dimaksudkan adalah, sebagaimana dikatakan Gramsci (1999), dalam Selections From The Prison Notebooks, dapat dijadikan sebagai bentuk persetujuan mahasiswa berada di bawah kuasa wacana universitas/pengetahuan.

Konsep tersebut berbeda dengan konteks dominasi dalam perspektif Marxis-ortodoks yang melihat hegemoni dengan kekerasan, katakanlah semacam penghapusan hak belajar melalui drop out yang dilakukan secara sepihak. Ia menjadi tidak legitimate dan diterima (karena terlahir sebagai dominasi) ketika tidak memenuhi syarat dari terciptanya hegemoni yang dimaksudkan. Syarat utamanya, lahirnya kepemimpinan moral dan intelektual yang dapat menjangkau kesadaran mahasiswa.

Di sini dibutuhkan penyebaran ideologi sebagaimana dikehendaki oleh “Sang Bapak”. Tentu saja, dalam sebuah universitas, penyebaran ini tidaklah rumit, karena alatnya telah tersedia. Misalnya, kaum intelektual, bahasa dan fakultas yang dimilikinya. Bayangkan saja, kampus merupakan lumbung para intelektual, tempat para Magister, Doktor, Professor, yang telah siap pakai dengan bahasa yang dimilikinya masing-masing.

Kalau hegemoni lewat wacana ini hadir, maka tradisi kampus pun akan mengalami kebiasaan baru. Kebiasaan yang tak lagi memberikan ruang kepada mahasiswanya untuk mencari kenikmatan dengan jalan menyakiti dirinya sendiri maupun orang lain alias tawuran. Lewat wacana universitas/pengetahuan (yang disediakan oleh “Sang Bapak”) yang bekerja di dalam sistem akademik, mahasiswa mampu melihat suatu kerenyahan wacana yang disediakan kampus. Mahasiswa mengetahui bahwa kenikmatan yang secara keliru dilakoninya selama ini membawa wajahnya untuk melihat kenikmatan yang tersaji dalam ilmu pengetahuan. .

Untuk mengimplementasikan kerja wacana hegemonik di atas, sekali lagi mengutip Gramsci, diperlukan kepemimpinan moral dan intelektual yang dapat menghadirkan kesadaran kolektif dalam masyarakat kampus tersebut. Kepemimpinan semacam ini secara otomatis mendorong lahirnya intelektual organik, utamanya mendorong kesadaran para Magister, Doktor, dan Professor di dalamnya, terlibat dalam segala bentuk interaksi intelektual – baik di dalam dan luar kelas. Interaksi intelektual ini menghilangkan jarak satu dengan lainnya, sehingga menciptakan kesatuan organik antara teori dan praksis, mahasiswa dan dosen.(*)




*Penulis: Fitriansal Sinauleng, Mantan Kepala Suku Bengkel Sastra UNM

Kirim Tulisan, Berita, Opini, Foto atau Karya Sastra Anda ke email redaksi@profesi-unm.com atau profesi_unm@yahoo.com untuk diterbitkan di rubrik Citizen Journalism Profesi Online. Sertakan juga foto, nama lengkap, jurusan/prodi atau jabatan Anda.




Share this article :
0 Komentar
Tweet
Komentar

0 comments :

Sampaikan tanggapan Anda

Tanpa Anda Kami Belum Lengkap