(int) |
Pengarang : Sapardi Djoko Damono
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun Terbit : 2013, Juni
Tebal Buku : 94 halaman + 104 halaman
“Tepat ketika ibunya megucapkan kutukan, Malin Kundang meloncat ke laut. Ia rupanya mendadak melihat kelebat firasat buruk tentang nasib malang yang akan mengabadikannya dalam sebongkah batu di lepas pantai dan memutuskan untuk habis-habisan melawan takdir...”
Sepenggal kisah itu bukanlah kisah Malin Kundang yag diparodikan. Melainkan kutipan tersebut adalah salah satu kutipan cerita dalam buku Malam Wabah dan Pada Suatu Hari Nanti, karangan dari Sapardi Djoko Damono. Di usianya yang sudah mencapai kepala tujuh ini, ia masih aktif untuk menelurkan karya-karyanya agar dibaca orang banyak.
Sejumlah cerita yang dikumpulkan dalam buku ini, 22 cerita pendek (cerpen), dibagi dalam dua bagian, dan berdiri sendiri sebagai dua buku yang terpisah. Malam Wabah, yang bercerita tentang kehidupan nyata mausia dalam kesehariannya dan Pada Suatu Hari Nanti, yang lebih banyak bercerita tentang dongeng-dongeng yang keluar dari pakemnya. Yah, dongeng-dongeng itu dibuat berbeda dan tentu saja membat pembaca akan semakin bertanya-tanya perihal kebenaran isi cerita yang “out of the box” dari cerita aslinya.
Kumpulan cerita ini merupakan carangan, “cabang dan ranting”, yang merupakan tanggapan atas pakemyang sudah ada dengan memelintir dongeng-dongeng itu – terutama yang menyangkut penokohan dan alur. “Demikian, maka Ken Arok, Nawangwulan, Kancil, Rama, dan tokoh-tokoh dongeng lain berniat keluar dari pakem agar bisa menjalani hidup yangbaru,” tutur penulis lewat Pengantarnya dalam buku.
Semisal kisah Malin Kundang, yang seharusnya menjadi pengetahuan umum bahwa ia dikutuk ibunya menjadi batu. Akan tetapi, SDD, sapaan akrabnya, mengubah “jalur” ceritanya. Si Malin Kundang selamat dari kutukan yang menimpa awak kapalnya beserta istrinya, dan memutuskan berenang ke tepian pantai untuk bertemu dengan ibunya, bersujud bersimpuh meminta maaf. Bukannya menemukan ibunya, ia malah bertemu dengan “rupa-rupa” ibunya yang mengaku tidak memiliki anak bernama Malin Kundang.
Meskipun demikian, karena merupakan kumpulan cerpen, maka pembaca akan dipaksa untuk memahami setiap kisah yang diceritakan hanya dalam beberapa lembar saja. Bahkan, beberapa kisah selesai dibaca hanya dalam satu lembaran buku saja. Oleh karena itu, seperti memahami sebuah makna yang tersirat, pembaca harus mampu menelaah makna setiap kisahnya dengan pengetahuan seadanya sendiri. Mungkin, karena penulis merupakan “angkatan tua” dalam dunia kepenulisan, maka bahasa-bahasa yang digunakan pun cenderung lebih surealis.
Bagi penggemar “bahasa-bahasa puisi”, memang cocok membaca buku timbal-balik ini. Apalagi dengan prestasi penulis yang sudah banyak dikenal lewat buku kumpulan puisinya, Hujan Bulan Juni (1994). (*)
"Gadis keci itu berpikir begini, Nanti kalau Ayah pulang kehujanan, kasihan. Tadi lupa bawa payung. Ia sendirian di rumah, seperti biasa. Pembantu hanya bertugas mencuci dan menyeterika, selesai itu pulang – sesudah, tentu saja, menyiapkan makanan untuknya. Gadis kecil itu biasa dipanggil Rini. Lengkapnya, Syatrini Endah Kurnianingrum..."
*Imam Rahmanto