Berita Terbaru!! :
Home » , » LCO: Tukang Sapu Berkemeja Merah

LCO: Tukang Sapu Berkemeja Merah

Admin by Yasir Bakekok on Saturday, 26 January 2013 | 23:31


Masih terlalu pagi untuk matahari mengintip dari balik awan yang gelap sisa hujan kemarin malam. Fajar melangkahkan kaki melewati jalan yang tergenangi air. Sesekali ia melompat ke daerah yang tidak tergenangi air agar sepatu Nike-nya tidak basah. Lengan kemeja kotak-kotak biru yang melekat di atas tubuhnya digulung hingga siku. Tas Reebok merah-hitamnya tersampir di bahu kanannya. Tidak banyak mahasiswa datang sepagi ini, membuat pemandangan kampus hanya dipenuhi oleh daun-daun basah dan sampah plastik hasil dari ketidakpedulian mahasiswa menjaga lingkungannya.

Ruang kuliah hari ini terletak di lantai tiga. Untungnya si tukang kunci sudah datang dan membuka pagar pengaman di depan tangga sehingga Fajar dapat melewatinya. Seperti biasa, ketika ruang kuliah masih tak berpenghuni dan pagi masih berselimut mimpi, Fajar akan berdiri menyandar ke tembok pembatas dan memandang ke bawah menyaksikan sisa hujan yang suasananya masih membekas.

Hanya beberapa menit setelah matahari hendak mengintip, gerimis tipis perlahan menyentuh bumi. Para tukang sapu yang sedang membersihkan halaman menyingkir dari tempatnya. Fajar menyaksikan semuanya dan tertawa kecil melihat tingkah mereka sampai matanya tertumbuk pada seseorang. Seseorang itu tidak beranjak dari sana. Tidak seperti tukang sapu lainnya, dia tetap tertunduk memandangi daun-daun yang disapunya.

Dari lantai tertinggi gedung berwarna ungu, Fajar berteriak menyuruh tukang sapu itu berhenti tapi tidak ada jawaban. Hanya suaranya sendiri yang menggema memecah keheningan. Diulangnya beberapa kali hingga tukang sapu itu menghadapkan wajah ke arahnya. Saat itulah Fajar menyadari bahwa tukang sapu itu memiliki paras yang cantik. Seandainya ia berada di dunia kartun, mungkin detik itu juga jantungnya sudah melompat turun. Dari kejauhan ia dapat melihat rambut hitam sebahu setengah basah yang membingkai wajah tirusnya. Dia seorang perempuan muda bermata sendu. Hari itu dia memakai kemeja berwarna merah yang menandakan bahwa dia bukan tukang sapu, tetapi seorang mahasiswi.

Dengan mulut setengah terbuka, Fajar tidak berkata apa-apa sementara dari bawah sana, perempuan berkemeja merah itu masih menatapnya dengan penuh tanya.

“Bro! Bikin apa ko?” Sebuah suara dengan logat yang familier di telinga menegur Fajar secara tiba-tiba. Tangannya menyentuh pundak Fajar dengan akrab. “Di depan kampus ada yang kecelakaan, kau tinggal di sini tanpa kerjaan. Betul-betul! Ckckck

“Bikin kaget saja kau, Ikram.” Fajar menepis tangan Ikram kemudian matanya tertuju ke bawah dan mendapati perempuan berkemeja merah itu hilang seiring dengan gerimis yang semakin deras.

***

Semalaman Fajar resah bukan main akibat efek melankolis yang ditimbulkan oleh pikirannya atas ‘pertemuan’ beberapa hari yang lalu dengan tukang sapu berparas cantik secara tidak sengaja. Sudah tiga hari dia tidak melihat perempuan itu. Potongan-potongan kejadian berlarian di kepalanya bersamaan dengan rasa ingin tahu yang begitu besar. Siapa perempuan berkemeja merah itu? Apakah ia seorang tukang sapu yang menyamar sebagai mahasiswi atau seorang mahasiswi yang merangkap menjadi tukang sapu? Mengapa tatapan matanya begitu sendu?  Fajar memutuskan untuk mencari tahu.

Dengan sengaja Fajar bangun lebih pagi dan datang ke kampus lebih awal meskipun pagi itu tidak ada jadwal kuliah. Langkahnya menyusuri halaman yang dipenuhi suara gesekan sapu dengan tanah dan dedaunan. Fajar meneliti satu per satu wajah dari para tukang sapu itu tapi tidak ditemuinya perempuan berkemeja merah yang dilihatnya kemarin. Kelelahan mencari, akhirnya Fajar naik ke lantai tiga. Mungkin dengan begitu dia akan melihat posisi perempuan yang dicarinya.

Usaha Fajar tidak sia-sia. Dari ketinggian, dia bisa melihat sosok itu lagi. Diam-diam senyum merekah di wajah Fajar. Dengan hati-hati dipanggilnya perempuan itu yang menoleh ke atas pada saat yang sama. Fajar mengisyaratkan agar dia mau menunggunya turun untuk sekadar berbincang sebentar. Perempuan itu mengangguk.

Dengan terburu-buru Fajar menuruni tangga hingga ke lantai dasar. Didapatinya perempuan tadi masih menggenggam sapu. Fajar menghampirinya sambil memikirkan kalimat pembuka yang menarik untuk memancing pembicaraan selanjutnya keluar tanpa beban. Celakanya, tiba di hadapan perempuan yang membuatnya penasaran itu, Fajar membisu melihat wajah perempuan di hadapannya yang pucat. Matanya yang sedikit basah menandakan air mata telah singgah di sana.

“Nama saya... Fajar” dengan ragu-ragu Fajar mengulurkan tangannya berharap perempuan itu juga memperkenalkan dirinya. Lima detik. Tidak ada tanggapan sama sekali. Mata perempuan itu hanya menatap bingung pada tangan Fajar yang terulur dan tangannya yang satu lagi menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Perempuan itu mengambil pulpen dari sakunya dan meraih tangan Fajar yang terulur. ‘Gerhana’ tulisnya dan ‘salam kenal’. Gerhana tersenyum samar dan kembali sibuk dengan sapunya.

***

“Apa kau tahu kalau sebenarnya daun-daun itu juga berbicara dalam bahasa mereka?” Gerhana bertanya kepada Fajar di suatu pagi yang mendung beberapa hari setelah mereka hari perkenalan mereka. Mereka sedang duduk di bawah pepohonan rindang di depan gedung kampus yang masih sunyi.

“Oh ya?” Alis Fajar terangkat sebelah seolah meminta penjelasan.

“Pohon-pohon, daun, tanah, hujan, burung-burung itu... Bumi kita berbicara, Fajar!” Mata Gerhana menerawang. Mulutnya berkomat-kamit seperti merapal doa.  “Dan saat ini dia menangis menyaksikan kita yang seharusnya menjaganya bersikap tidak peduli.”

Kenapa kau cantik sekali?

“Pohon-pohon itu ditebang. Coba bayangkan setiap tahun ada 2 juta hektar hutan di negeri kita yang habis. Lihatlah banjir dimana-mana, semua mengeluh. Tidakkah mereka sadar kalau mengeluh tidak akan menyelesaikan masalah?”

Kenapa matamu bersinar sekali?

“Fajar? Kau mendengar saya?” Gerhana melambaikan tangannya di depan mata Fajar yang membuat Fajar sedikit tersentak. Sedari tadi memang dia tidak menangkap pembicaraan Gerhana melainkan memperhatikan setiap detail wajahnya yang rupawan.

“Eh? Mmm.. kenapa tadi?” Fajar gelagapan.

“Sudahlah. Saya hanya ingin kamu dan teman-temanmu tidak membuang sampah sembarangan. Saya capek menyapu sampah-sampah itu, mengerti?” Gerhana berkata ketus. Dia bangkit dari tempat duduknya, meraih sapu dan kembali menyapu.

***

“Gerhana?” tanya Ikram dengan kening yang berkerut. “Namanya aneh.” Tambahnya.
         
“Dia mahasiswi di sini, saya tahu itu. Setiap pagi dia menyapu halaman kampus dengan rajinnya.” Fajar menjelaskan dengan mata yang berbinar. Ikram masih menatapnya dengan tatapan menyelidiki. Barulah sadar ia bahwa hal yang membuat sobatnya itu rajin datang ke kampus setiap pagi adalah seorang gadis. Ikram tertawa.

“Kenapa kau tertawa?” Fajar mengernyit.

“Hahaha.. kau itu jatuh cinta! Hahaha” Ikram tertawa terbahak-bahak sambil memegang perutnya. Semua mata di koridor siang itu menatapnya heran.

“Whatever!”

“Ayolah, kenalkan gadis yang kurang beruntung itu! Haha” Ikram meminta di antara dengung tawanya.

 “Oke. Besok pagi datang sebelum jam tujuh”

***
         
Fajar dan Ikram masih mencari-cari dari atas gedung di lantai tiga. Ikram nyaris mati kebosanan menunggu.

“Gerhana selalu meminta saya untuk menjaga lingkungan, tidak membuang sampah sembarangan.” Fajar berbicara sambil matanya masih terus mencari sosok berkemeja merah itu muncul lagi.

 “Kau benar-benar jatuh cinta ya? Kau sudah menyebut itu berulang kali. Selain kemeja merah yang selalu dipakainya, rambut lurus sebahu, wajah pucat, mata sendu dan senyum yang menawan, apa lagi yang bisa kau ceritakan? Bosan ka dengar itu” Ikram mengingat kembali cerita Fajar kemarin.

“Baiklah, ayo turun dan bertanya pada ahlinya” Fajar mengusulkan.

Mereka akhirnya turun ke lantai dasar dan bertanya pada beberapa tukang sapu di sana.

“Perempuan sebaya kalian?” ulang salah seorang tukang sapu wanita yang sudah berumur kepada Fajar dan Ikram yang menjelaskan ciri-ciri Gerhana. Mereka mengangguk.

“Tidak ada gadis di antara kami” tambah tukang sapu lainnya.

“Kecuali...” wanita tua menahan perkataannya sekaligus nafasnya untuk beberapa detik sebelum melanjutkan “anak dari teman kami yang kecelakaan di depan kampus minggu lalu....... Dia sudah meninggal, Nak”

Fajar terhenyak. Rasanya seperti disiram es. Beku semua kakinya, merinding bulu kuduknya.
         
“Kalau boleh tahu, namanya siapa, Bu?” Ikram yang penasaran bertanya. Tukang sapu di hadapannya berpikir sejenak.

“Hana. Kalau tidak salah nama lengkapnya Gerhana. Gadis cantik itu putus kuliah dan menggantikan mamaknya yang sakit sebagai tukang sapu. Kasihan sekali anak itu. Waktu dia mau ke kampus untuk membersihkan pagi itu, dia ditabrak motor. Tabrak lari” Perkataan Ibu itu membuat Ikram bergidik ngeri dan ketika ia berbalik ke arah Fajar, ia mendapati sobatnya jatuh pingsan dengan wajah pucat di antara tumpukan daun kering dan sampah yang dikumpulkan oleh para tukang sapu. (*)



Nama : Ani Dyah Astuty
Tanggal Lahir : 21 April 1995
Alamat : Delta Bumi Sudiang blok E-21
No. HP : 081340126151
Jurusan/Prodi : Bahasa Inggris/ Pendidikan Bahasa Inggris
NIM : 1252040024
Facebook : Dhea Anidyah / http://www.facebook.com/dhey07
Twitter : -



Share this article :
0 Komentar
Tweet
Komentar

0 comments :

Sampaikan tanggapan Anda

Tanpa Anda Kami Belum Lengkap