(Foto: Int) |
Produser : Ram Soraya, Sunil Soraya
Produksi : Soraya Intercine Films
Sutradara : Rizal Mantovani
Casts : Herjunot Ali, Raline Shah, Paula Verhoeven, Fedi Nuril, Arifin Putra, Hamish Daud
Satu lagi prosa karangan Dewi “Dee” Lestari diadaptasi ke dalam bentuk film. Setelah sebelumnya Perahu Kertas (2012), Rectoverso (2013), dan Madre (2013), kali ini giliran novel Supernova yang mengikuti jejak-jejak “saudaranya”. Supernova ialah novel serial bergaya fiksi ilmiah.
“Sesempurna apapun sebuah tatanan, dapat dipastikan chaos selalu ada, membayangi seperti siluman abadi. Begitu sistem mencapai titik kritisnya, maka ia pun lepas mengobrak-abrik. bahkan dalam keadaan yang nampaknya equilibrium atau seimbang, sesungguhnya chaos dan order hadir bersama seperti kue lapis, yang di antaranya terdapat olesan selai sebagai perekat. Selai itu adalah zona kuantum – rimba infinit dimana segalanya relatif, tidak ada yang pasti, hanyalah sekumpulan potensi dan probabilitas.”
Versi film Supernova diawali dengan visualisasi ledakan bintang dalam galaksi, sesuai dengan makna harfiah dari supernova itu sendiri. Visualisasi tersebut diiringi bersama narasi tentang teori order dan chaos, keteraturan dan ketidakteraturan. Selanjutnya sesuai dengan buku yang ditulis oleh ibu surinya—Dee, alur dimulai dengan pertemuan Dimas dan Reuben—mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Amerika—di lain waktu mengikat janji untuk membuat sebuah mahakarya berupa roman sains.
Sepuluh tahun setelahnya, sesuai janji mereka mulai mendesain cerita demi cerita. Ferre—seorang eksekutif muda, Rana—wakil pemimpin redaksi majalah wanita, dan Diva—supermodel dengan sisi gelap sebagai pelacur kelas atas. Sesungguhnya Ferre dan Rana pun memiliki sisi gelapnya, sebab mereka terjebak dalam cinta terlarang. Rana adalah istri dari seorang usahawan muda, Arwin. Semua tokoh dalam cerita secara tidak langsung berinteraksi melalui Supernova—avatar maya. Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh. Alur dari tiap tokoh bersiklus dalam lingkaran “roman ketemu sains”.
Menonton film Supernova rasanya bermaksud hendak menyamakan persepsi pembaca soal bentuk digital dari serial pertamanya ini. Patut diacungi jempol terkait visual yang sungguh menawan dalam pengambilan gambar lanskap. Dialog yang dituturkan pun hampir seluruhnya adalah hasil “jiplakan” dari bukunya. Sehingga tak ada hal-hal kejutan yang cukup berarti, selain dari sudut pandang setting pengambilan gambar.
Beberapa percakapan yang dihadirkan terkadang terlalu tinggi karena mengikutkan bahasa ilmiah yang tidak wajar dan tanpa penjelasan lebih detil. Seperti bifurkasi, reversed order mechanism, percobaan kucing schrodinger, turbulensi, dan istilah sains lain bisa tidak berarti apa-apa, kecuali seperti dalam buku yang diikutkan dengan footnote-nya masing-masing. Hingga di akhir cerita, tetap ada bagian lain dalam buku yang jelas hilang dan tak sama. Tokoh Gio sama sekali tak ditampilkan dalam versi film Supernova.
“Genggam jantungku dan hitung denyutannya.Sebanyak itulah aku merindukanmu,Puteri,” – Ferre.
Bagaimanapun, film Supernova tetap menjadi media yang menjembatani untuk kembali bernostalgia dengan Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh secara audio visual. Penonton mampu melakukan aktivitas napak tilas dalam menelusuri titik tolak Supernova bermula.
Boleh jadi film Supernova adalah pemicu badai serotonin yang sebenar-benarnya. Film ini mampu menjadi penawar depresi dan pencipta suasana bahagia. (*)
*Awal Hidayat