(int) |
Penulis : Bernard Batubara
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : 192 halaman
Tahun terbit : 2013
“Selama ini aku pikir aku butuh lebih dari empat putaran . Butuh berkali-kali lipat empat putaran untuk melupakan luka itu. Namun ternyata aku hanya butuh empat putaran. Tepat empat putaran, untuk menemukan kamu yang baru dan memberikan arti lagi pada setiap langkahku.” ~~Empat Putaran~~
Potongan tersebut merupakan salah satu kisah yang disajikan Bernard Batubara secara menarik dalam buku kumpulan cerita pendeknya (cerpen) ini. Temanya memang tidak jauh-jauh dari seputar asmara, sebagaimana cerita yang selalu menyentuh di kalangan para remaja. Akan tetapi, caranya bertutur sungguh membuat pembacanya selalu penasaran dengan akhir kisahnya.
Seorang laki-laki yang berniat untuk mengurangi berat badannya dengan saban hari jogging. Hanya saja, tubuhnya yang terlanjur agak kelebihan beban membuatnya hanya mampu mencapai empat putaran setiap kali jogging. Lebih dari itu, ia tak mampu. Kurang dari itu, ia malu.
Di sisi penceritaan lain, Bernard mengisahkan seorang wanita yang juga menghabiskan waktu paginya dengan jogging di boulevard kampus. Sementara, berada di tempat yang sama, ia diam-diam mengamati seorang laki-laki yang selalu berhenti berlari ketika mencapai empat putaran. Padahal, menurutnya, ia sebagai seorang perempuan saja mampu mencapai jarak berlari lebih dari itu. Meskipun, alasan sesungguhnya ia berlari setiap pagi di taman kampus itu adalah untuk “melarikan diri” dari masa lalunya.
Menilik dari cerita-cerita yang disajikannya, pria yang akrab disapa Bara ini cenderung bercerita dengan cara membagi sudut pandang. Setiap tokoh yang dihadirkan dalam ceritanya, diberikan kesempatan yang sama untuk memerankan “tokoh utama”. Salah satu cerita yang menarik, yakni cerpen berjudul “Beberapa Adegan yang Tersembunyi di Pagi Hari”. Kisahnya sederhana, namun mampu dikembangkan menjadi cerita yang bermakna, mengesampingkan kesan rasional dari sebuah cerita.
Beberapa cerpen dengan judul berbeda juga tak jarang mengambil cara bercerita demikian, termasuk kisah yang berjudul Milana sendiri. Tentang seorang gadis yang selalu melukis senja dan menunggu seseorang yang dikasihinya. Seorang lelaki lain yang kemudian menghampiri kehidupannya. Lelaki yang tak pernah tahu arti menunggu ketidakpastian, hingga ia sendiri mengalami dan merasakannya, sebagaimana penantian Milana.
“Menunggu adalah perkara melebarkan kesabaran dan berhadap-hadapan dengan resiko ketidakhadiran.” ~~Milana~~
Masing-masing kisah dipaparkan melalui sudut pandang yang berbeda, berdasarkan visi masing-masing tokoh. Dengan demikian, kemungkinan untuk menyajikan porsi “pemaknaan” cerita bisa disajikan secara lebih seimbang.
Ada 15 cerpen yang disajikan penulis lewat buku keempatnya ini. Buku ini merupakan buku kumpulan cerpen pertamanya. Beberapa cerpen di dalamnya merupakan cerpen yang pernah ditulisnya dan diterbitkan oleh media-media massa, baik koran lokal maupun media online. Buku-buku lainnya, seperti Radio Galau FM (2011) dan Kata Hati (2012) pernah diangkat ke layar lebar. (*)
“Kali ini saya sudah tahu namanya. Milana. Ia bercerita mengapa ia melukis senja. Dan mengapa ia selalu melakukannya di atas feri yang menyeberangi Selat Bali, dari Banyuwangi ke Jembrana. Ia sedang menunggu kekasihnya. Ia yakin suatu saat kekasihnya akan datang ke tempat ia menunggu. Ia tidak tahu kapan. Ia berkata kepada saya bahwa ia bukan saja yakin, tetapi ia tahu, kekasihnya itu akan datang kepadanya.” ~~Milana~~
*Kasdar Kasau