(Foto: Imam) |
Penulis : Fira Basuki
Penerbit : Grasindo
Tebal buku : 270 halaman
Namaku Lelananging Djagad, artinya lelaki yang amat lelaki atau sebutan lain untuk Arjuna. Aku lari dari keluargaku yang ningrat untuk mencari pengalaman hidup. Aku tidak mau disekolahkan ke negeri Belanda, negeri penjajah yang merampas harta negeriku. Aku menceburkan diri ke lautan, dengan nahkoda Kapten Darmo, dan kapalnya Sembrani, si pemilik Pedang Panjang. Kapten Darmo berkata bahwa Sembrani si kuda terbang akan menuntun jalannya di lautan. Jika sedang dalam keputusasaan, Sembrani akan muncul, dan menolongmu.
Seperti potongan kisahnya, buku ini bercerita tentang Djagad yang berasal dari keluarga keraton di Yogyakarta. Di masa penajajahan Belanda, sudah menjadi kebiasaan bagi kaumnya, kaum bangsawan, akan disekolahkan orang tuanya ke luar negeri, khususnya ke negeri Belanda. Hanya saja, berbeda dengan saudara lainnya, Djagad "memberontak".
Ia lari dari rumah bersama seorang abdi dalemnya (pelayan keraton), Rogo. Mereka berdua bertualang, mencari pengalaman, belajar dari alam yang luas, demi membuktikan kepada ayah Djagad bahwa ia juga bisa berhasil tanpa kekuasaan ayahnya, apalagi harus bersekutu dengan Belanda, yang sedang menjajah bangsanya sendiri.
Dalam perjalanan mengelilingi lautan luas itulah Djagad diwariskan sebuah pedang panjang peninggalan kapten kapalnya yang berujung kepala kuda Sembrani. Kuda legendaris, kuda terbang, yang disebut Pegasus oleh kaum barat, itu turun temurun telah menjadi mitos. Namun, Djagad telah membuktikan bahwa Sembrani memang benar-benar ada dan menuntunnya pada kepulangannya.
Meskipun bercerita tentang masa kemerdekaan Indonesia, namun salah satu tokoh di dalamnya yang merupakan cucu perempuan Djagad, juga mengambil peran "penceritaan" dalam buku ini. Seperti dua kisah, kita dibawa untuk menyeberang ke masa lalu, Djagad dan kita kemudian dibawa lagi melompat ke masa sekarang, Laras Maharani Djagad, dalam perjalanannya menemukan cinta yang ditunggunya.
Kisah Laras yang mengambil alur waktu masa kini tidak lantas mengurangi esensi cerita yang diusungnya. Pembaca dibuat maju-mundur dengan tetap saling menghubungkan kisah Sembrani yang abadi dari masa ke masa. Penulis berusaha menyuguhkan sebuah mitos yang tak lekang dimakan zaman, meski berbeda-beda penamaannya oleh setiap negara. Dari kunjungannya ke beberapa negara, Laras menemukan keselarasan cerita yang selama ini didengungkan oleh kakeknya. Laras pun masih menyimpan warisan dari kakeknya, pedang panjang bergagang kepala Sembrani.
Kisah yang disuguhkan Fira Basuki cukup menarik. Ceritanya berlatar tentang kebudayaan dan beberapa peninggalan masa silam. Pembaca akan diajak belajar tentang sejarah dengan cara bercerita. Seperti seorang anak kecil, pembaca akan dibuat penasaran oleh setiap ceritanya yang bertema "petualangan". Sesekali, penulis juga menyisipkan kisah cinta Laras yang menanti kekasihnya, Rain, setelah bercerai dengan seseorang berkebangsaan Amerika. Ia hidup sebagai single parent dari seorang anak perempuannya. Ada pula kisah pencarian Djagad kepada Kemuning, yang di masa kini merupakan nenek Laras.
Aku mengangguk. "Aku tidak akan pernah melupakan We Tenri. Dia istriku yang cantik, perempuan baik-baik dari keluarga, terutama ayah, yang baik. Aku akan selalu ingat dan aku mungkin akan kembali..."
"Jangan janji! Aku tidak mengharapkanmu kembali ke masa lalumu. Berlayarlah dan buatlah kisah yang lebih menarik. majulah bersama ombak ke masa depan, bukan kembali ke sini lagi, Djagad."
*Imam Rahmanto