Berita Terbaru!! :
Home » , » LCO: Pedih Dibalut Perih

LCO: Pedih Dibalut Perih

Admin by Yasir Bakekok on Saturday, 26 January 2013 | 23:30


Penulis: Sudarmi

 “Ada yang hilang.” Benakku seringkali membisikkan kata-kata itu. Kemudian dibenarkan oleh perasaanku yang mulai dibelenggu oleh kehampaan. Benarkah dia telah pergi?

Semakin kumencoba menutupi ruang gersang dalam hati ini, semakin sulit rasanya untuk membendung luapan emosiku. Tetesan air bening bercucuran lagi. Aku menangis.

Hari-hariku seakan berlalu dengan sia-sia. Tak ada hal berarti yang bias kulakukan. Dunia terasa gersang. Langit menjadi kelam. Bulan seolah-olah tak sudi lagi menampakkan sinarnya. Matahari pun sepertinya tak berarti apa-apa, selain membuat tubuhku yang lelah ini semakin lemas. Kehampaan benar-benar telah menguasai diriku.

Aku tahu, ini adalah musibah. Dan aku sadar, ini adalah ujian. Aku juga mengerti, sabar adalah hal terbaik yang bisa kulakukan, tetapi mampukah diriku menanamkan sabar di tengah-tengah kehampaan ini?

Ya Allah, hamba-Mu ini benar-benar lemah. Masih adakah kekuatan yang sudi kau berikan kepadaku?

“Tak baik meratapi musibah yang melanda kita, Nak. Kita harus yakin bahwa Allah selalu punya rencana yang terbaik untuk setiap hamba-Nya. Kita hanya dituntut untuk menjalaninya dengan menjadikan sabar dan syukur sebagai sahabat,” nasihat bunda yang selalu beliau lantunkan ketika melihatku rapuh. Beliau adalah sesosok perempuan tegar yang selalu tahu cara menyenangkan hatiku dan selalu menjadi penyemangat dalam setiap langkahku. Namun, inilah diriku. Setiap untaian nasihatnya, hanya kubalas degan air mata. Tak pernah ada sepatah-kata pun yang bisa kuutarakan disaat hatiku sedang dirundung sedih.

Aku tidak boleh terus-terusan seperti ini. Aku harus bangkit. Perjalananku masih panjang. Masih banyak hal penting yang harus kulakukan. Aku tidak boleh terlana dalan keadaan seperti ini. Bukankah Allah sangat membenci seorang hamba yang meratapi musibah yang menimpanya?

Bukankah aku juga tahu bahwa hanya kepada-Nya semata-mata tempat untuk mengadu?

Ya Allah, kukemanakankah Engkau selama ini?

Tiba-tiba kurasakan pikiranku mulai terbuka kembali. Batinku memberontak dari kehampaan. Aku telah lelah diperbudak sedih. Aku harus bangkit dari keterpurukan ini. Setiap saat, inilah yang kulakukan, mencoba membakar kembali semangatku yang telah padam.

Meskipun, terkadang aku rapuh lagi ketika mengingat almarhum yang kurasa terlalu cepat meninggalkanku, meninggalkan kami. Hati ini tak dapat menahan rasa sedih ketika mengingat kasih sayang beliau yang begitu tulus dan mengingat harapan besar beliau yang tak satupun telah kupenuhi sampai akhirnya beliau tak berharap apa-apa lagi selain doa untuknya.

Ya Allah, semoga Engkau mengampuni segala dosa-dosa beliau dan menerima segala amal kebaikannya.

Rabbigfirlii waliwalidayyaa warhamhumaa qamaa rabbayaani shogiiraa

Ya, aku harus memulai langkah baru, kembali berjuang menyatukan puing-puing harapan yang sempat berantakan. Walaupun beliau telah pergi, aku masih punya yang lain yang tak kalah sayangnya kepadaku. Aku masih memiliki seorang bunda berhati mulia, saudara-saudara seiman perjuangan, beserta kawan-kawan kampus perlipur laraku.

Mengingat perkuliahan sudah hampir dimulai, aku terpaksa kembali ke kota Daeng, tempatku mewujudkan impianku. Berat rasanya meninggalkan bunda di kampung kebanggaanku, tetapi ini juga adalah kewajiban terbesarku. Dan bunda sangat mendukung hal ini.
           
Seringkali aku menjadi peserta pertama di kampus, datang tepat waktu ketika kuliah pagi jam 07.30. Namun, tak jarang kuliah dimulai pada pukul 08.30, bahkan lewat. Hal ini yang sering membuatku jengkel dan mengumpat dalam hati.

“Ahh, dosen macam apa itu? Disiplin saja tidak bisa.” Dan yang paling menjengkelkan, ketika kami, mahasiswanya yang terlambat, konsekuensinya adalah tidak boleh mengikuti perkuliahan pada saat itu, apapun alasannya. Tetapi, jika sang dosen itu yang terlambat, kata maaf saja enggan terucap dari mulutnya. Mungkin diriku adalah mahasiswa durhaka, tetapi  secara tidak sadar, beliau yang telah mendidikku menjadi seperti itu.

“Hai, kapan datang?” tegur Siska sambil menghampiriku di koridor kampus.
“Dua hari yang lalu, Sis,” jawabku sambil bersalaman.
“Bagaimana kabarmu?” tanyanya lagi.

Aku tahu, dia turut berbelasungkawa atas musibah yang menimpaku. Semua teman-teman sekelasku pasti turut bersedih akan musibah yg telah menimpaku, meskipun hanya Siska yang sempat kukabari. Tetapi, disaat aku mulai membangun keceriaanku dan mencoba mengubur dalam-dalam kesedihan yang telah kualami, aku tidak ingin ada yang membicarakan atau menanyakan hal itu kepadaku. Aku tak ingin meneteskan air mata lagi.

“Baik,” jawabku datar.

Aku berharap semoga Siska tak sedikitpun membicarakan peristiwa yang telah merenggut semangat hidupku. Bukannya aku tidak ingin mengingat almarhum ayahku, apalagi membenci namanya. Aku hanya tidak ingin menangis lagi. “Ayah” adalah satu kata yang membuatku sangat sulit menahan air mataku. Harapanku terkabulkan. Siska sepertinya sangat mengerti keadaanku. Dia samasekali tidak menyinggung hal itu.

Namun, tiba-tiba…
“Hana jahat. Kamu kok ndak kabarin kita sih?” Vita tiba-tiba muncul dan langsung memvonisku. Kemudian disusul oleh kedatangan Lisa bersama Harti.

“Iya, kok cuma Siska yang dikabari? Kita kan juga sahabat-sahabat kamu. Atau mungkin kita ndak dianggap kali ya.” Lisa ikut bicara dengan gaya sinis dan jeteknya.

Aku hanya bisa diam dan menunggu, apakah Harti juga akan menghakimiku seperti kedua temanku itu. Ternyata Harti hanya diam. Dia memang sahabatku yang tidak banyak bicara. Dia bahkan terkesan cuek dengan orang-orang di sekelilingnya.

“Hai semuanya!” Sri tiba-tiba muncul dengan sejuta keceriaannya. Sahabatku yang satu ini, agak sedikit manja dan terlihat sangat periang. Dia sangat pandai menyembunyikan setiap sedih, gundah, dan pilunya kepada dunia. Kami hanya akan tahu bahwa dia sedang galau atau sakit hati, ketika dia berbagi cerita kapada kami. Ketika ada waktu luang untuk berkumpul bersama, kami sering mengisinya dengan ajang curhat, membongkar setiap uneg-uneg yang ada di hati. Hal inilah yang membuat pesahabatan kami kekal, walaupun sering juga sakit hati muncul diantara kami.

“Hana, oleh-oleh dari kampung mana?” tagihnya sambil menengadahkan tangannya.
“Ke kostku aja ntar, Say,” jawabku dengan senyum datar.

Kedatangan Sri sedikit merubah suasana yang sempat beku beberapa menit.

Sebenarnya, aku sadar bahwa aku telah melakukan tindakan yang salah. Aku telah membuat teman-temanku merasa dibeda-bedakan. Tetapi, pernahkah mereka berpikir tentang seberapa besar perjuanganku untuk melenyapkan kesedihanku ini? Bukannya aku tidak ingin berbagi dengan mereka semua, aku hanya tak ingin berlama-lama larut dalam kepedihan ini dengan membeberkannya kepada mereka secara satu-persatu. Ketika aku mulai membicarakan musibah itu, seolah-olah ia menjadi baru kembali dan butuh usaha keras untuk melenyapkannya lagi.

Aku tahu, mereka semua adalah teman yang baik. Mereka kesal dan sampai mengucapkan kata-kata yang menurutku bagaikan sebuah belati tajam itu karena mereka sangat peduli kepadaku, kepada hidup dan kehidupanku. Aku seharusnya bangga berteman dengan mereka. Tetapi, disaat aku sedang rapuh dan baru mencoba untuk bangkit seperti ini, mereka seolah-olah menjelma menjadi badai dahsyat yang menerjang pertahananku.

Mungkinkah mereka teman-temanku yang sangat dekat denganku belum sepenuhnya mengerti akan keadaanku? Disaat seperti ini, aku ingin mereka menjadi perlipur laraku, seperti hari-hari kemarin. Aku membutuhkan senda gurau mereka untu menelan dukaku. Aku tidak siap menerima luka dari mereka. Sayangnya, mungkin mereka tidak menyadari bahwa rasa pedihku telah mereka balut dengan perih.

Aku yang telah bertekad untuk menggali keceriaanku, mulai merasakan kepiluan yang mendalam. Aku tidak menyangka mereka akan menyambut pedihku dengan kedaan seperti ini. Sebuah keadaan yang tidak siap kuhadapi.

Hari pertama kuliah di semester ini, memberikan kesan yang amat buruk kepadaku. Ingin rasanya aku segera menghilang dari jangkauan teman-temanku. Aku tidak mengerti perubahan sikap mereka kepadaku. Tak ada lagi kebersamaan dan kedamaian yang pernah kurasakan dulu. Mereka semua seakan-akan tidak memperdulikanku lagi. Rasa-rasanya aku telah terkucilkan oleh mereka. Hal ini juga yang membuat mulai malas berbaur dengan mereka. Setiap candaan mereka samasekali tidak lucu bagiku.

Aku merasa hidup dalam dunia keterasingan. Aku juga telah menjadi sesosok yang pendiam dan malas bicara. Dengan keadaanku yang seperti ini, mereka sepertinya selalu menganggap ada yang salah denganku. Lagi-lagi mereka tidak mengerti keadaanku. Sama seperti diriku yang tidak mengerti sikap mereka.

Hingga pada suatu hari, di kamar kostku, Siska bertanya kepadaku, “Hana, ada apa sih? Kamu kok tiba-tiba berubah. Kamu tidak seperti biasanya.”

“Lagi ndak mood aja bergurau.” Jawabku seadanya tanpa berusaha jujur akan keadaan yang sebenarnya.

Aku tidak ingin berbicara banyak tentang yang kurasakan selama ini. Membicarakan perasaanku, sama halnya dengan membongkar bendungan air mata yang telah kujaga dengan ketegaran. Aku tak ingin menangis di depannya laksana anak kecil yang minta dikasihani. Biarlah rasa perih ini kupendam sendiri. Aku hanya berharap suatu saat nanti mereka akan mengerti. Kalaupun harapan ini hanyalah harapan semu, aku akan berusaha mengobatinya sendiri dan aku yakin, semuanya akan berubah seiring dengan bergulirnya waktu. (*)



Nama: Sudarmi
Tanggal lahir: 26 Juni 1991
Alamat: Jl. Muhajirin 5 no. 2, kompleks PU Malengkeri
No. Hp: 085255725899/081355208645
Jurusan/prodi: Bahasa Asing/Pend. Bahas Jerman
NIM: 105404016
Facebook: Ammy Schwan



Share this article :
0 Komentar
Tweet
Komentar

0 comments :

Sampaikan tanggapan Anda

Tanpa Anda Kami Belum Lengkap