Berita Terbaru!! :
Home » , , » Awan dan Awan (Cerpen)

Awan dan Awan (Cerpen)

Admin by Unknown on Tuesday 16 October 2012 | 08:49

(int)
Di dunia yang terus berjalan beriringan dengan modernisasi ini rasanya hampir mustahil untuk mengatakan sulit bahkan untuk mengubah dunia. Segalanya dianggap mudah, namun akhirnya yang tercipta bukanlah hidup yang semakin mudah, melainkan praktik-praktik kotor yang mewarnai segenap usaha agar segala sesuatu terkesan lebih mudah. Kekuasaan kian meraja, perbedaan status sosial kian gencar dipergunjingkan sebagai sesuatu yang layak untuk dipertimbangkan sebagai alasan pantas atau tidaknya seseorang diberi hormat, uang pun semakin menguasai segala aspek, bahkan untuk sesuatu yang tak layak untuk diperjualbelikan sekalipun.

Awan bukan satu dari para kritikus yag senang mengungkapkan segala kritik dengan komentar tajam terhadap keadaan dunia yang semakin memprihatinkan saja. Ia hanya satu dari bocah kecil yang selalu ingin tahu apa yang tengah terjadi? Bagaimana ia kelak? Tidak pada si kaya yang rakus akan harta rakyat kecil, Awan sering mengemis pada neneknya untuk disekolahkan layaknya anak-anak seusianya yang seharusnya sudah duduk di kelas 3 SD. Sejak kecil Awan harus kehilangan kedua orang yang teramat dicintainya karena penggusuran aparat yang tidak berprikemanusiaan. Katanya pada tanah tempat rumahnya berdiri akan dibangun sebuah pusat perbelanjaan. Untuk hal yang satu ini, Awan sering bertanya, “Apa di ibu kota yang modern seperti Jakarta pusat perbelanjaan masih kurang? Apa tidak sebaiknya mereka membangun rumah sederhana tempat para gelandangan?” Sayangnya, pertanyaan Awan tak lebih dari sekedar pertanyaan anak kecil yang lebih sering diacuhkan oleh orang dewasa, termasuk neneknya sendiri.

“Nek, kalo besar nanti Awan mau jadi presiden!” kata Awan di sela makan siangnya bersama nenek tercinta.

“Kenapa mau jadi presiden?” tanya neneknya tanpa sedikitpun berniat untuk berhenti mengunyah nasi yang ia santap bersama sayur kangkung yang kemarin ia pungut di pinggir-pinggir selokan.

“Soalnya jadi presiden enak…punya banyak uang. Trus bisa bikin apa aja yang kita suka,” jawab Awan polos.

“Gak semudah itu, Wan. Jadi presiden juga harus punya tanggung jawab, harus peduli sama rakyatnya, gak boleh juga seenak hati memperlakukan rakyat kecil, macam kita ini,” jawab neneknya kemudian kembali mengunyah santap siangnya.

“Itu juga Awan tahu, Nek. Tapi, ada kok orang yang gak peduli sama rakyatnya tapi bisa juga jadi presiden,” balas Awan semakin asyik dengan ocehannya.

“Itu sih namanya presiden yang gak benar.”

“Presiden yang gak benar kan namanya presiden juga, punya banyak uang juga, punya kekuasaan yang tinggi juga,” lanjut Awan tetap pada pendiriannya.

“Kamu belum ngerti apa-apa, Wan. Udah makannya? Sini piringnya nenek cuci!” kata neneknya dengan piring yang tak menyisakan sebutir nasi pun.

“Awan gak mungkin bisa ngerti kalo gak sekolah.” Awan tertunduk, menangis, terisak.

Melihat tingkah cucunya yang bukan pertama kali dilihatnya, si Nenek hanya melemparkan pandangan sayu. Telah berkali-kali ia mendengar keluhan yang sama keluar dari mulut Awan, bahkan hampir setiap hari, dan hampir setiap hari pula ia hanya bisa meghadiahkan tatapan sayu tanpa daya atau diam sama sekali.

“Wan, bukannya nenek gak mau liat kamu sekolah. Nenek gak punya cukup uang buat bayar sekolah kamu. Kita aja sekarang hidup dari belas kasihan orang lain. Nenek juga kadang malu menadahkan mulut pada tangan orang lain. Buat makan aja masih butuh orang lain, gimana mau sekolah?! Gak mungkin juga kan kalo nenek jual kangkung yang hampir tiap hari kita makan?! Siapa coba yang mau beli kangkung yang tumbuh dekat selokan?!” kata neneknya yang kemudian berlalu begitu saja dari hadapan Awan.

Kenapa yang lain bisa sekolah, Awan tidak? Kenapa yang lain bisa pintar, Awan tidak? Kenapa yang lain bisa belajar buat jadi presiden, Awan tidak? Kenapa yang lain bisa punya orang tua yang bisa ngasih uang, Awan tidak? Kenapa??? Pertanyaan demi pertanyaan terus saja muncul di kepala Awan.

******

Malam Awan kali ini mungkin akan terasa lebih panjang. Di langit-langit rumahnya yang kumuh, ia dapati potret seorang lelaki yang gagah dengan dasi yang melingkar di lehernya. Lelaki itu tampak olehnya sebagai dirinya ketika kelak menjadi seorang presiden yang hebat, yang banyak dielu-elukan oleh rakyatnya. Awan terus larut dalam kesenangannya yang mungkin hanya semu. Awan tak pernah peduli meski neneknya dan semua orang-orang di sekelilingnya akan menertawainya karena mimpi yang terlalu jauh dari jangkauan tangan-tangan kecilnya. Awan akan bermimpi dan terus bermimpi. Awan akan menjadi seperti sang awan yang selalu berada di tempat yang tinggi, Awan yakin itu. (*)


Oleh Andriani
*Penulis adalah mahasiswa jurusan Bahasa Inggris FBS UNM



Share this article :
0 Komentar
Tweet
Komentar

0 comments :

Sampaikan tanggapan Anda

Tanpa Anda Kami Belum Lengkap