int |
Penulis : Alberthiene Endah
Penerbit : Nourabooks
Tahun Terbit : 2013
Tebal Buku : 404 halaman
Tidak banyak yang
mengetahui peranan ibu Jusuf Kalla, Athirah terhadap suksesnya wakil presiden
Indonesia kesepuluh ini. Kebanyakan orang, khususnya di Sulawesi
Selatan, lebih berpikir tentang besarnya pengaruh ayahnya, Haji Kalla. Bahkan
jauh sebelum Jusuf, sapaan kanak-kanak Jusuf Kalla, bertemu dengan Mufidah,
perempuan yang kelak menjadi istrinya, Jusuf telah menerima berbagai pelajaran
tentang hidup melalui ibunya. Pengalaman dalam keluarga “kecil”-nya selalu
mengingatkan untuk terus bangkit meski dalam keadaan sangat terpuruk sekalipun.
Olehnya, pepatah “behind a great man there's always a great woman”
sangat sesuai untuk menggambarkan perjalanan Jusuf dalam meraih pencapaiannya
hingga sekarang berkat tempaan dari kisah ibunya.
Athirah, adalah putri
Kerra, perempuan yang dijadikan istri keempat oleh ketua kampung di pelosok
kabupaten Bone, Muhammad. Dengan keadaan ibunya yang menjadi istri keempat,
Athirah adalah perempuan yang dilahirkan dari rahim kesabaran. Hingga akhirnya,
kesabaran ibunya turut menurun pada Athirah dalam menghadapi cobaan yang
dijalaninya.
Dalam usia yang masih
belia, Athirah yang berusia tiga belas tahun menikah dengan Haji Kalla, seorang
saudagar yang memulai usahanya dengan keringat sendiri. Kehidupan rumah tangga
mereka berjalan indah dengan buah cinta yang berbuah “subur”. Hingga mulai
timbul konflik, Athirah dengan jiwa perempuannya mengendus gelagat aneh
suaminya. Haji Kalla jatuh cinta dengan
perempuan lain. Jusuf yang kala itu masih siswa SMP tidak begitu mengerti
tentang pergulatan batin kedua orang tuanya.
Pada akhirnya, Haji
Kalla benar-benar menikah lagi. Jadilah, Athirah mengikuti jejak ibunya pula.
Haji Kalla semakin jarang menetap di rumah Athirah dan Jusuf, lebih banyak
berada di rumah istri kedua. Meskipun demikian, Haji Kalla tak pernah absen
berkunjung di “jam kunjungannya”, selepas salat subuh dan salat maghrib. Pada
saat inilah, Athirah selalu merasa kehilangan suaminya setiap hari. Dengan
langkah gesit, ia selalu bersemangat menyiapkan sarapan dan makan malam untuk
suami. Namun akan berubah lemas ketika membereskan santapan, dan suaminya
mempertontonkan punggung yang menuju rumah istri kedua.
Athirah berduka. Ketika
langkah Haji Kalla semakin jarang terdengar di rumah, ia semakin sendu. Namun
Athirah sama sekali tidak pernah memperlihatkannya kepada anak-anaknya,
termasuk Jusuf. Meskipun Athirah selalu berusaha menutupi kekalutannya, Jusuf
terlalu jeli melihat. Ia tahu betul perasaan ibunya, hingga ia sendiri punya
alasan cukup kuat untuk mulai membenci ayahnya.
Untungnya, Athirah
tidak membiarkan dirinya terlalu lama disiksa rindu. Ia segera berjuang untuk
bangkit, menjadi perempuan yang mandiri. Ada sosok yang kokoh dalam dirinya
yang lembut dan sangat halus. Ia mengurus usaha perjalanan dan kain sutra.
Dengan pertemuannya dengan organisasi Aisyiah juga, ia belajar untuk move on dari rasa kehilangannya. Ia
mengikhlaskan takdir yang telah digariskan dalam hidupnya.
Pengalaman
dalam keluarga Jusuf turut memberikan pengaruh padanya untuk berhati-hati
dengan hati seorang perempuan. Hingga duduk di bangku SMA, Jusuf terlalu fokus
pada hati ibunya hingga lupa memandang perempuan sebayanya. Ketika Athirah
sudah bangkit dari perihnya, Jusuf kemudian ditakdirkan untuk “melihat”
Mufidah. Pertemuan mereka berawal saat hari pertama pindah sekolah ke SMA 3
Makassar, Jusuf jatuh cinta untuk kali pertama juga. Dengan modal keberanian,
ia berniat dengan sungguh-sungguh. Tiap pulang sekolah, Jusuf selalu mengantar
Mufidah sambil membawa skuternya. Sosok Mufidah yang kelewat dingin, ia tidak
ingin diantar dengan naik skuter. Mereka berdua sama-sama berjalan di bawah
terik kota Makassar. Begitu, setiap hari.
Jusuf
benar-benar harus berusaha keras untuk mendapatkan cinta Mufidah. Pertama,
karena Mufidah telah dijodohkan oleh orang tuanya. Dan kedua, Jusuf berasal
dari orang tua yang berpoligami, Orang tua Mufidah kontan merasa tidak percaya
dengan Jusuf. Namun Jusuf tetap tidak menyerah, dan setelah sabar selama
bertahun-tahun, akhirnya Jusuf tak lagi bertepuk sebelah tangan. Tentu saja,
sekali lagi ibu Jusuf tak lepas tangan dengan perjalanan (cinta) anaknya.
Jusuf
belajar banyak dari ibunya. Baginya, Athirah adalah sekolah kehidupan yang
sebenar-benarnya. Darinya, Jusuf belajar untuk tetap menguatkan hati. Darinya
pula, Jusuf belajar untuk jatuh cinta. Darinya pula, Jusuf juga belajar untuk
berwirausaha. Jusuf tidak pernah meninggalkan ibunya. Ia telah berjanji, dan
selalu menepatinya. Setelah menikahpun, Jusuf tidak meninggalkan Makassar, kota
ibunya bermukim. Bahkan hingga Athirah tutup usia, Jusuf-lah yang tetap berada
di sampingnya. Athirah meninggal dalam dekapan Jusuf, tepat di depan rumah
mereka.
***
Buku
ini menceritakan secara eksplisit besarnya pengaruh Athirah terhadap perjalanan
hidup Jusuf Kalla. Begitu banyak pelajaran kehidupan yang
diberikan dalam buku ini. Berfokus pada tokoh Athirah, sayangnya penulis teralu
memberikan porsi yang agak berlebih untuk tokoh lainnya, seperti Jusuf dan
Mufidah Kalla. Ada beberapa bagian dalam buku ini yang menghilangkan sosok
Athirah.
Dalam buku berjudul
Athirah, Alberthiene Endah menuliskan Athirah dengan sebutan “Emma”, panggilan
untuk ibu dalam bahasa Bugis. Kekentalan unsur setting Bugis-Makassar mampu menjadi poin tambahan yang memperkuat
esensi cerita. Tak hanya “Emma”, hal-hal yang berkaitan dengan latar, seperti
barongko, pisang ijo, tenun sutra, mesjid raya, karebosi, losari, hingga
calabai makin menghidupkan cerita yang terjadi di daerah Sulawesi Selatan. Di
sampul depan bukunya, diilustrasikan dengan rumah panggung suku Bugis
dikelilingi tanaman rindang dengan halaman luas.
Epilog di buku ini
ditutup dengan ikrar Jusuf Kalla untuk tidak mengulangi jejak ayahnya.
“Aku memang bukan suami yang sempurna. Tapi satu hal yang bisa kujamin, aku tak akan pernah melukai hatimu. Sampai kapanpun…” kemudian dibalas dengan senyuman sangat lembut dari Mufidah.
“Aku memang bukan suami yang sempurna. Tapi satu hal yang bisa kujamin, aku tak akan pernah melukai hatimu. Sampai kapanpun…” kemudian dibalas dengan senyuman sangat lembut dari Mufidah.
*Awal Hidayat