Berita Terbaru!! :
Home » , , » Athirah :Sekolah Kehidupan Jusuf Kalla

Athirah :Sekolah Kehidupan Jusuf Kalla

Admin by Yeni.F on Thursday 10 April 2014 | 16:33

int
Judul Buku      : Athirah
Penulis             : Alberthiene Endah
Penerbit           : Nourabooks
Tahun Terbit    : 2013
Tebal Buku      : 404 halaman


Tidak banyak yang mengetahui peranan ibu Jusuf Kalla, Athirah terhadap suksesnya wakil presiden Indonesia kesepuluh ini. Kebanyakan orang, khususnya di Sulawesi Selatan, lebih berpikir tentang besarnya pengaruh ayahnya, Haji Kalla. Bahkan jauh sebelum Jusuf, sapaan kanak-kanak Jusuf Kalla, bertemu dengan Mufidah, perempuan yang kelak menjadi istrinya, Jusuf telah menerima berbagai pelajaran tentang hidup melalui ibunya. Pengalaman dalam keluarga “kecil”-nya selalu mengingatkan untuk terus bangkit meski dalam keadaan sangat terpuruk sekalipun. Olehnya, pepatah “behind a great man there's always a great woman” sangat sesuai untuk menggambarkan perjalanan Jusuf dalam meraih pencapaiannya hingga sekarang berkat tempaan dari kisah ibunya.
Athirah, adalah putri Kerra, perempuan yang dijadikan istri keempat oleh ketua kampung di pelosok kabupaten Bone, Muhammad. Dengan keadaan ibunya yang menjadi istri keempat, Athirah adalah perempuan yang dilahirkan dari rahim kesabaran. Hingga akhirnya, kesabaran ibunya turut menurun pada Athirah dalam menghadapi cobaan yang dijalaninya.
Dalam usia yang masih belia, Athirah yang berusia tiga belas tahun menikah dengan Haji Kalla, seorang saudagar yang memulai usahanya dengan keringat sendiri. Kehidupan rumah tangga mereka berjalan indah dengan buah cinta yang berbuah “subur”. Hingga mulai timbul konflik, Athirah dengan jiwa perempuannya mengendus gelagat aneh suaminya. Haji Kalla jatuh cinta dengan perempuan lain. Jusuf yang kala itu masih siswa SMP tidak begitu mengerti tentang pergulatan batin kedua orang tuanya.
Pada akhirnya, Haji Kalla benar-benar menikah lagi. Jadilah, Athirah mengikuti jejak ibunya pula. Haji Kalla semakin jarang menetap di rumah Athirah dan Jusuf, lebih banyak berada di rumah istri kedua. Meskipun demikian, Haji Kalla tak pernah absen berkunjung di “jam kunjungannya”, selepas salat subuh dan salat maghrib. Pada saat inilah, Athirah selalu merasa kehilangan suaminya setiap hari. Dengan langkah gesit, ia selalu bersemangat menyiapkan sarapan dan makan malam untuk suami. Namun akan berubah lemas ketika membereskan santapan, dan suaminya mempertontonkan punggung yang menuju rumah istri kedua.
Athirah berduka. Ketika langkah Haji Kalla semakin jarang terdengar di rumah, ia semakin sendu. Namun Athirah sama sekali tidak pernah memperlihatkannya kepada anak-anaknya, termasuk Jusuf. Meskipun Athirah selalu berusaha menutupi kekalutannya, Jusuf terlalu jeli melihat. Ia tahu betul perasaan ibunya, hingga ia sendiri punya alasan cukup kuat untuk mulai membenci ayahnya.
Untungnya, Athirah tidak membiarkan dirinya terlalu lama disiksa rindu. Ia segera berjuang untuk bangkit, menjadi perempuan yang mandiri. Ada sosok yang kokoh dalam dirinya yang lembut dan sangat halus. Ia mengurus usaha perjalanan dan kain sutra. Dengan pertemuannya dengan organisasi Aisyiah juga, ia belajar untuk move on dari rasa kehilangannya. Ia mengikhlaskan takdir yang telah digariskan dalam hidupnya.
Pengalaman dalam keluarga Jusuf turut memberikan pengaruh padanya untuk berhati-hati dengan hati seorang perempuan. Hingga duduk di bangku SMA, Jusuf terlalu fokus pada hati ibunya hingga lupa memandang perempuan sebayanya. Ketika Athirah sudah bangkit dari perihnya, Jusuf kemudian ditakdirkan untuk “melihat” Mufidah. Pertemuan mereka berawal saat hari pertama pindah sekolah ke SMA 3 Makassar, Jusuf jatuh cinta untuk kali pertama juga. Dengan modal keberanian, ia berniat dengan sungguh-sungguh. Tiap pulang sekolah, Jusuf selalu mengantar Mufidah sambil membawa skuternya. Sosok Mufidah yang kelewat dingin, ia tidak ingin diantar dengan naik skuter. Mereka berdua sama-sama berjalan di bawah terik kota Makassar. Begitu, setiap hari.
Jusuf benar-benar harus berusaha keras untuk mendapatkan cinta Mufidah. Pertama, karena Mufidah telah dijodohkan oleh orang tuanya. Dan kedua, Jusuf berasal dari orang tua yang berpoligami, Orang tua Mufidah kontan merasa tidak percaya dengan Jusuf. Namun Jusuf tetap tidak menyerah, dan setelah sabar selama bertahun-tahun, akhirnya Jusuf tak lagi bertepuk sebelah tangan. Tentu saja, sekali lagi ibu Jusuf tak lepas tangan dengan perjalanan (cinta) anaknya.
Jusuf belajar banyak dari ibunya. Baginya, Athirah adalah sekolah kehidupan yang sebenar-benarnya. Darinya, Jusuf belajar untuk tetap menguatkan hati. Darinya pula, Jusuf belajar untuk jatuh cinta. Darinya pula, Jusuf juga belajar untuk berwirausaha. Jusuf tidak pernah meninggalkan ibunya. Ia telah berjanji, dan selalu menepatinya. Setelah menikahpun, Jusuf tidak meninggalkan Makassar, kota ibunya bermukim. Bahkan hingga Athirah tutup usia, Jusuf-lah yang tetap berada di sampingnya. Athirah meninggal dalam dekapan Jusuf, tepat di depan rumah mereka.

***

Buku ini menceritakan secara eksplisit besarnya pengaruh Athirah terhadap perjalanan hidup Jusuf Kalla. Begitu banyak pelajaran kehidupan yang diberikan dalam buku ini. Berfokus pada tokoh Athirah, sayangnya penulis teralu memberikan porsi yang agak berlebih untuk tokoh lainnya, seperti Jusuf dan Mufidah Kalla. Ada beberapa bagian dalam buku ini yang menghilangkan sosok Athirah.
Dalam buku berjudul Athirah, Alberthiene Endah menuliskan Athirah dengan sebutan “Emma”, panggilan untuk ibu dalam bahasa Bugis. Kekentalan unsur setting Bugis-Makassar mampu menjadi poin tambahan yang memperkuat esensi cerita. Tak hanya “Emma”, hal-hal yang berkaitan dengan latar, seperti barongko, pisang ijo, tenun sutra, mesjid raya, karebosi, losari, hingga calabai makin menghidupkan cerita yang terjadi di daerah Sulawesi Selatan. Di sampul depan bukunya, diilustrasikan dengan rumah panggung suku Bugis dikelilingi tanaman rindang dengan halaman luas.
Epilog di buku ini ditutup dengan ikrar Jusuf Kalla untuk tidak mengulangi jejak ayahnya.
Aku memang bukan suami yang sempurna. Tapi satu hal yang bisa kujamin, aku tak akan pernah melukai hatimu. Sampai kapanpun…” kemudian dibalas dengan senyuman sangat lembut dari Mufidah. 

*Awal Hidayat



Share this article :
0 Komentar
Tweet
Komentar

0 comments :

Sampaikan tanggapan Anda

Tanpa Anda Kami Belum Lengkap