Berita Terbaru!! :
Home » » Hukuman Dari Tuhan

Hukuman Dari Tuhan

Admin by Yasir Bakekok on Tuesday 11 February 2014 | 19:37

HUKUMAN DARI TUHAN
*Penulis: Wahida

Perasaanku sedang sangat tidak menyenangkan. Tidak enak. Jantungku serasa berdetak dengan terpaksa. Perutku mual. Rasanya mau muntah. Hidup memang bukan sesuatu yang mudah. Bahkan untuk menyebut katanya sudah membuatku gugup. Apa yang akan terjadi esok? Atau detik setelah ini?. Aku tidak bisa menahan perasaan semalu ini. Hasil dari buah setan petikanku sendiri. Dipohon yang disebut sebagai racun dunia oleh wanita-wanita istimewa. Wanita yang selalu bersinar diantara warna putih. Wanita-wanita yang selalu menjaga sinarnya tetap putih. Mereka mungkin akan berteriak kepadaku. Merasa jijik terhadapku. Merasa seharusnya aku tidak disini. Aku tidak ingin hidup lagi.

Ilustrasi

“wanita jalang! Rajam saja dia!”

Suara-suara teriakan mulai akan menggema. Air mataku sudah tidak akan berguna. Sejak kejadian malam itu, aku sudah ditakdirkan untuk masuk kedalam kubangan tahi berbau busuk. Sesuatu yang menghina martabat keluarga. Manusia yang tak pantas ada.

***

“hei, halo, aku resya, resya ardhiguna, dari jakorta”
“aku marya, sulistia maryaningsih”

Perkenalan itu sederhana. Dengannya, yang sekarang entah ada dimana. Dia baik. Ramah. Senyumnya mengingatkanku pada ayahku, yang telah lama tiada menemaniku. Pergi mencari harapan dikota besar. Harapan bahwa disana ia akan mendapat cukup kehidupan untuk kami bernafas. Setiap bulan aku akan mengingatnya, mengenangnya, membayangkannya cukup lama, cukup lama untuk sampai pada kalimat terakhir dari paragraf disurat yang dikiriminya bersama sejumlah uang. Sejak ia sudah beberapa tahun disana, kehidupan kami dikampung semakin membaik, bahkan lebih dari berkecukupan. Harta bergelimpangan. Tanah yang semakin luas. Namun kekurangan cinta dan penopang. Kekuatan dari kegagahan sosok yang dibanggakan. Dalam bentuk nurani. Dalam bentuk kasih dan sayang. Tiada.

“bagaimana jakorta saat ini?”
“sangat indah. Damai dimana-mana. Senyap. Suara-suara kecil tenggelam dalam kekuasaan diktator. Tapi semua baik-baik saja. Meski ada yang harus bersusah payah bahkan untuk sesuap nasi, dan ada yang dengan mudahnya membalik telapak tangan semudah merenggut harta tak seharusnya, dengan tumbal darah dan nyawa tak berdosa. Kelaparan. Penyakit. Tidak ada yang punya mata. Atau mata, tidak ada yang mau melihat”
“jadi itu sebabnya kau ke mari? Menjernihkan penglihatanmu?”
“betulkah? Kalau begitu, bagaimana kota mu ini?”

Kami mudah membangun waktu yang menyenangkan. Membicarakan hal-hal yang sedikit menguras hati dan air mata. Ia adalah jiwa-jiwa adil diantara milyaran jiwa-jiwa yang kotor. Sejauh ingatanku, dia adalah pemikir bangsa yang nasionalis. Darah asli asal para kesatria pemberani. Sulewesi. Tapi ia sudah beberapa tahun meninggalkan kampung halamannya, demi meraih ilmu terbaik di negeri tercinta. Cita-citanya ialah, memberitahu dengan bangga, dari mana ia lahir di negeri orang.

“mungkinkah, jakorta akan kembali seperti berpuluh-puluh tahun yang lalu?”
“yah, tentu saja. Suatu hari. Kedamaian sejati akan berlabuh dikampung itu. Karna masih sangat banyak, jiwa-jiwa pemberani, yang hidup berjuang melawan ketidakadilan disana. Dan mereka berhasil, meski harus berrnafas dengan berat, meski harus terseok dengan langkah, mereka tak kan goyah, karena mereka adalah calon pemimpin masa depan yang damai”

***

Akhirnya suatu hari yang tidak diinginkan terjadi. Malam yang seharusnya tak ada. Waktu yang seharusnya tak terpakai. Saat ia menangis tersedu-sedu, dibahuku. Ibunya telah tiada. Aku tak tahu harus berkata apa. Pria paling pemberani yang pernah kulihat, menangis.

“aku sangat mencintainya”
Ucapannya terbata-bata. Disertai sesenggukan dan rangkulan yang semakin erat. Disela-sela tangisnya yang tiada henti. Ia mengucapkannya.
“dan aku sangat mencintaimu”

Aku percaya padanya. Kepercayaan yang melebihi apapun didunia ini. Tanpa memandang agama. Tanpa memandang moral. Tanpa memandang Tuhan. Tanpa memandang masyarakat, keluarga. Aku memberikan diriku padanya. Seutuhnya. Bersama hati yang telah lama hanya mengukir namanya.

***

“apa kau tidak akan mengunjungi makam ibumu?”
“aku harus. Meski aku tidak bisa saat ini. Aku tidak akan meninggalkanmu sendiri”
“aku akan menunggumu”
“mengapa kau begitu percaya padaku?”
“entah. Aku hanya mengikuti kata hatiku”
“jangan selalu menuruti kata hati. Kata hati tidaklah selalu berkata benar. Meski mungkin selalu berkata jujur”
“apa kau akan meninggalkanku?”
“tidak. Itu tidak mungkin”
“berarti kata hatiku berkata benar”

Ia tersenyum lembut. Sangatlah amat dewasa dimataku. Ia selalu menemaniku. Memberi kesejukan. Memberi kehangatan. Sosok dari seseorang yang aku merasakan kenyamanan dalam rangkulannya. Rasa aman dari kehadirannya. Hingga suatu hari, telingaku mendengar kabar yang tak ingin didengarnya. Kejadian yang paling tidak ku inginkan untuk terjadi. Hal diluar kekuasaanku.

“kau dari mana saja marya! Aku mencari-carimu!”
“kenapa gelisah, zar? Aku pergi berbelanja di kota seberang.”

Air mata zariah tumpah. Ia becerita terbata-bata. Tentang kedatangan tiga kompi mobil kepolosian. Tidak lain hanya untuk menangkap dan menghukum mati tersangka kasus pembunuhan hakim di peradilan umum jakorta. Mereka menangkap berita bahwa ia lari ke kampung kami. Dan baru tadi dia dieksekusi. Ditembak mati didepan umum. Seluruh mata dipaksa jadi saksi. Beberapa wanita pingsan, bahkan sebelum tembakan awal diletuskan. Beberapa lelaki berwajah musam. Beberapa berwajah benci. Tapi semua sudah tidak berguna bagi yang terkena ratusan peluru itu. Jiwanya telah melayang dialam tak dikenal.

“kasmidarmana, buronan yang selama ini dicari-cari, resya mar, resya ardhiguna! Bahkan ibunya telah ditembak mati karena dianggap bersekongkol menyembunyikan anaknya beberapa hari yang lalu, dan ayahnya telah lama mati karena hal yang sama!”

Inikah dunia? Inikah hidup? Seberapa jahatkah nilai dari kepedulian? Aku tidak mengerti. Air mataku terus jatuh diwajah beku. Memutih. Tidak ada yang mau mendekatinya. Semua jijik. Semua enggan. Seburuk itukah kenangan dari sebuah sejarah dari tubuh yang sudah tak bernyawa? Apa yang bisa dilakukan tubuh yang sudah tak bernyawa ini? Wahai jiwa-jiwa yang bodoh? Jiwa-jiwa yang tak lagi peduli. Inikah nasib para pejuang yang berusaha menciptakan kedamaian?

***

“hei, tidak kah menurutmu perutnya semakin membesar?”

Suara-suara sumbang mulai terdengar hinggap ketelingaku. Menuduh tanpa rasa kasihan. Menghina tanpa jera. Hingga akhirnya suara-suara itu mulai menciptakan sebuah pergerakan. Aku terkurung dalam sebuah kandang ayam yang digubah menjadi gubuk. Tanganku terantai. Begitu pula kakiku. Terpasung erat dengan sebuah gembok yang besar.

“rajam saja sekarang!”
“tapi anak yang dikandungnya tak berdosa!”
“anak yang lahir dari keledai akan jadi keledai. Percuma saja! Dari pada hidup mesti menanggung aib sang ibu. Rajam saja dia!”
“baiklah, kalau semua setuju. Besok pagi kita mulai. Semua laki-laki berkumpul besok disini. Pagi-pagi”

***

Untunglah. Semua akan cepat berakhir. Setelah ibuku mati karena menanggung malu. Sudah sepantasnya aku mendapatkannya. Hidup memang tak berguna. Manusia tidak ada yang benar. Hanya Sang Pemilik. Disaat-saat aku terjerat hampir jatuh dalam jurang perasaan yang menusuk tajam. Aku selalu mengingatNya.

“maafkan aku nak, ibumu tak berguna. Juga tak punya kuasa. Tapi hidup adalah indah. Tergantung sejauh mana kau memandang. Keadilan pasti ada. Damai pasti ada. Benar akan selalu terkuak paling akhir. Temuilah kebenaranmu nak. Mulai sekarang. Hiduplah! Dan berusahalah untuk hidup. Semua orang berjuang, nak. Maka berjuanglah. Meski tidak semua orang sekata. Meski mungkin dunia tidak sejalan dengan kita. Berjuanglah. Belajarlah nak. Dari segala yang terlihat. Segala yang terdengar. Segala yang tercium. Dan segala yang terasakan. Pesan ayahmu kepada ibu, memperlihatkan kesalahan ibu. Jagalah dan ingatlah selalu, damai pasti ada. Resya marya ardhiguna kasmidarmana. Anakku. Ingatlah namamu.”

Nafasku mulai lemah. Gundaku telah terlaksana. Tangisannya keras sekali. Membuatku bahagia. Ia terlahir ditempat yang berbau busuk, juga memiliki latar belakang yang busuk. Tapi aku yakin, kehidupannya akan selalu harum, dan kenangan yang ditinggalkannya juga akan berbau harum. Keharuman yang tecium hingga ke surga. Aku bahagia. Sekarang saatnya. Tinggal menunggu hukuman dari Tuhan.(*)


*Penulis: Wahida, Mahasiswa Fakultas Psikologi UNM

Kirim Tulisan, Berita, Opini, Foto atau Karya Sastra Anda ke email redaksi@profesi-unm.com atau profesi_unm@yahoo.com untuk diterbitkan di rubrik Citizen Journalism Profesi Online. Sertakan juga foto, nama lengkap, jurusan/prodi atau jabatan Anda.
 



Share this article :
0 Komentar
Tweet
Komentar

0 comments :

Sampaikan tanggapan Anda

Tanpa Anda Kami Belum Lengkap