HUKUMAN DARI TUHAN
*Penulis: Wahida
Perasaanku sedang sangat tidak
menyenangkan. Tidak enak. Jantungku serasa berdetak dengan terpaksa. Perutku
mual. Rasanya mau muntah. Hidup memang bukan sesuatu yang mudah. Bahkan untuk
menyebut katanya sudah membuatku gugup. Apa yang akan terjadi esok? Atau detik
setelah ini?. Aku tidak bisa menahan perasaan semalu ini. Hasil dari buah setan
petikanku sendiri. Dipohon yang disebut sebagai racun dunia oleh wanita-wanita
istimewa. Wanita yang selalu bersinar diantara warna putih. Wanita-wanita yang
selalu menjaga sinarnya tetap putih. Mereka mungkin akan berteriak kepadaku.
Merasa jijik terhadapku. Merasa seharusnya aku tidak disini. Aku tidak ingin
hidup lagi.
“wanita jalang! Rajam saja dia!”
Suara-suara teriakan
mulai akan menggema. Air mataku sudah tidak akan berguna. Sejak kejadian malam
itu, aku sudah ditakdirkan untuk masuk kedalam kubangan tahi berbau busuk.
Sesuatu yang menghina martabat keluarga. Manusia yang tak pantas ada.
***
“hei, halo, aku resya, resya ardhiguna, dari jakorta”
“aku marya, sulistia maryaningsih”
Perkenalan itu sederhana. Dengannya,
yang sekarang entah ada dimana. Dia baik. Ramah. Senyumnya mengingatkanku pada
ayahku, yang telah lama tiada menemaniku. Pergi mencari harapan dikota besar.
Harapan bahwa disana ia akan mendapat cukup kehidupan untuk kami bernafas.
Setiap bulan aku akan mengingatnya, mengenangnya, membayangkannya cukup lama,
cukup lama untuk sampai pada kalimat terakhir dari paragraf disurat yang
dikiriminya bersama sejumlah uang. Sejak ia sudah beberapa tahun disana,
kehidupan kami dikampung semakin membaik, bahkan lebih dari berkecukupan. Harta
bergelimpangan. Tanah yang semakin luas. Namun kekurangan cinta dan penopang.
Kekuatan dari kegagahan sosok yang dibanggakan. Dalam bentuk nurani. Dalam
bentuk kasih dan sayang. Tiada.
“bagaimana jakorta saat ini?”
“sangat indah. Damai dimana-mana.
Senyap. Suara-suara kecil tenggelam dalam kekuasaan diktator. Tapi semua
baik-baik saja. Meski ada yang harus bersusah payah bahkan untuk sesuap nasi,
dan ada yang dengan mudahnya membalik telapak tangan semudah merenggut harta
tak seharusnya, dengan tumbal darah dan nyawa tak berdosa. Kelaparan. Penyakit.
Tidak ada yang punya mata. Atau mata, tidak ada yang mau melihat”
“jadi itu sebabnya kau ke mari?
Menjernihkan penglihatanmu?”
“betulkah? Kalau begitu, bagaimana
kota mu ini?”
Kami mudah membangun waktu yang
menyenangkan. Membicarakan hal-hal yang sedikit menguras hati dan air mata. Ia
adalah jiwa-jiwa adil diantara milyaran jiwa-jiwa yang kotor. Sejauh ingatanku,
dia adalah pemikir bangsa yang nasionalis. Darah asli asal para kesatria
pemberani. Sulewesi. Tapi ia sudah beberapa tahun meninggalkan kampung
halamannya, demi meraih ilmu terbaik di negeri tercinta. Cita-citanya ialah,
memberitahu dengan bangga, dari mana ia lahir di negeri orang.
“mungkinkah, jakorta akan kembali
seperti berpuluh-puluh tahun yang lalu?”
“yah, tentu saja. Suatu
hari. Kedamaian sejati akan berlabuh dikampung itu. Karna masih sangat banyak,
jiwa-jiwa pemberani, yang hidup berjuang melawan ketidakadilan disana. Dan
mereka berhasil, meski harus berrnafas dengan berat, meski harus terseok dengan
langkah, mereka tak kan goyah, karena mereka adalah calon pemimpin masa depan
yang damai”
***
Akhirnya suatu hari yang tidak diinginkan terjadi. Malam yang seharusnya tak ada. Waktu yang seharusnya tak terpakai. Saat ia menangis tersedu-sedu, dibahuku. Ibunya telah tiada. Aku tak tahu harus berkata apa. Pria paling pemberani yang pernah kulihat, menangis.
“aku sangat mencintainya”
Ucapannya terbata-bata. Disertai
sesenggukan dan rangkulan yang semakin erat. Disela-sela tangisnya yang tiada
henti. Ia mengucapkannya.
“dan aku sangat mencintaimu”
Aku percaya padanya.
Kepercayaan yang melebihi apapun didunia ini. Tanpa memandang agama. Tanpa
memandang moral. Tanpa memandang Tuhan. Tanpa memandang masyarakat, keluarga.
Aku memberikan diriku padanya. Seutuhnya. Bersama hati yang telah lama hanya
mengukir namanya.
***
“apa kau tidak akan mengunjungi makam ibumu?”
“aku harus. Meski aku tidak bisa
saat ini. Aku tidak akan meninggalkanmu sendiri”
“aku akan menunggumu”
“mengapa kau begitu percaya padaku?”
“entah. Aku hanya mengikuti kata
hatiku”
“jangan selalu menuruti kata hati.
Kata hati tidaklah selalu berkata benar. Meski mungkin selalu berkata jujur”
“apa kau akan meninggalkanku?”
“tidak. Itu tidak mungkin”
“berarti kata hatiku berkata benar”
Ia tersenyum lembut. Sangatlah amat
dewasa dimataku. Ia selalu menemaniku. Memberi kesejukan. Memberi kehangatan.
Sosok dari seseorang yang aku merasakan kenyamanan dalam rangkulannya. Rasa
aman dari kehadirannya. Hingga suatu hari, telingaku mendengar kabar yang tak
ingin didengarnya. Kejadian yang paling tidak ku inginkan untuk terjadi. Hal
diluar kekuasaanku.
“kau dari mana saja marya! Aku
mencari-carimu!”
“kenapa gelisah, zar? Aku pergi
berbelanja di kota seberang.”
Air mata zariah tumpah. Ia becerita
terbata-bata. Tentang kedatangan tiga kompi mobil kepolosian. Tidak lain hanya
untuk menangkap dan menghukum mati tersangka kasus pembunuhan hakim di
peradilan umum jakorta. Mereka menangkap berita bahwa ia lari ke kampung kami.
Dan baru tadi dia dieksekusi. Ditembak mati didepan umum. Seluruh mata dipaksa
jadi saksi. Beberapa wanita pingsan, bahkan sebelum tembakan awal diletuskan.
Beberapa lelaki berwajah musam. Beberapa berwajah benci. Tapi semua sudah tidak
berguna bagi yang terkena ratusan peluru itu. Jiwanya telah melayang dialam tak
dikenal.
“kasmidarmana, buronan yang selama
ini dicari-cari, resya mar, resya ardhiguna! Bahkan ibunya telah ditembak mati
karena dianggap bersekongkol menyembunyikan anaknya beberapa hari yang lalu,
dan ayahnya telah lama mati karena hal yang sama!”
Inikah dunia? Inikah hidup? Seberapa
jahatkah nilai dari kepedulian? Aku tidak mengerti. Air mataku terus jatuh
diwajah beku. Memutih. Tidak ada yang mau mendekatinya. Semua jijik. Semua
enggan. Seburuk itukah kenangan dari sebuah sejarah dari tubuh yang sudah tak
bernyawa? Apa yang bisa dilakukan tubuh yang sudah tak bernyawa ini? Wahai
jiwa-jiwa yang bodoh? Jiwa-jiwa yang tak lagi peduli. Inikah nasib para pejuang
yang berusaha menciptakan kedamaian?
***
“hei, tidak kah menurutmu perutnya semakin membesar?”
Suara-suara sumbang mulai terdengar
hinggap ketelingaku. Menuduh tanpa rasa kasihan. Menghina tanpa jera. Hingga
akhirnya suara-suara itu mulai menciptakan sebuah pergerakan. Aku terkurung
dalam sebuah kandang ayam yang digubah menjadi gubuk. Tanganku terantai. Begitu
pula kakiku. Terpasung erat dengan sebuah gembok yang besar.
“rajam saja sekarang!”
“tapi anak yang dikandungnya tak
berdosa!”
“anak yang lahir dari keledai akan
jadi keledai. Percuma saja! Dari pada hidup mesti menanggung aib sang ibu.
Rajam saja dia!”
“baiklah, kalau semua
setuju. Besok pagi kita mulai. Semua laki-laki berkumpul besok disini.
Pagi-pagi”
***
Untunglah. Semua akan cepat berakhir. Setelah ibuku mati karena menanggung malu. Sudah sepantasnya aku mendapatkannya. Hidup memang tak berguna. Manusia tidak ada yang benar. Hanya Sang Pemilik. Disaat-saat aku terjerat hampir jatuh dalam jurang perasaan yang menusuk tajam. Aku selalu mengingatNya.
“maafkan aku nak, ibumu tak berguna.
Juga tak punya kuasa. Tapi hidup adalah indah. Tergantung sejauh mana kau
memandang. Keadilan pasti ada. Damai pasti ada. Benar akan selalu terkuak
paling akhir. Temuilah kebenaranmu nak. Mulai sekarang. Hiduplah! Dan
berusahalah untuk hidup. Semua orang berjuang, nak. Maka berjuanglah. Meski
tidak semua orang sekata. Meski mungkin dunia tidak sejalan dengan kita.
Berjuanglah. Belajarlah nak. Dari segala yang terlihat. Segala yang terdengar.
Segala yang tercium. Dan segala yang terasakan. Pesan ayahmu kepada ibu,
memperlihatkan kesalahan ibu. Jagalah dan ingatlah selalu, damai pasti ada. Resya
marya ardhiguna kasmidarmana. Anakku. Ingatlah namamu.”
Nafasku mulai lemah. Gundaku telah
terlaksana. Tangisannya keras sekali. Membuatku bahagia. Ia terlahir ditempat
yang berbau busuk, juga memiliki latar belakang yang busuk. Tapi aku yakin,
kehidupannya akan selalu harum, dan kenangan yang ditinggalkannya juga akan
berbau harum. Keharuman yang tecium hingga ke surga. Aku bahagia. Sekarang
saatnya. Tinggal menunggu hukuman dari Tuhan.(*)
Kirim Tulisan, Berita, Opini, Foto atau Karya Sastra Anda ke email redaksi@profesi-unm.com atau profesi_unm@yahoo.com untuk diterbitkan di rubrik Citizen Journalism Profesi Online. Sertakan juga foto, nama lengkap, jurusan/prodi atau jabatan Anda.