(int) |
Penulis : Mochtar Pabottingi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal buku : 400 halaman
Tahun terbit : 2013
Kisah Mochtar Pabottingi yang termuat dalam buku berjudul Burung-Burung Cakrawala merupakan memoar perjalanan hidup Mochtar sedari kecil sampai saat ini. Sedari peneliti yang kini Bekerja di LIPI itu masih bermukim di daerah kecil Bulukumba, di Sulawesi Selatan sampai perjalanan panjang Mochtar di Honolulu.
Sebuah puzzle besar perjalanan hidup seorang anak manusia, dengan kepingan-kepingan kecil pelengkap yang sarat makna dan arti, serta sebuah contoh besar perjuangan seorang "anak kampung" hingga mampu lepas landas dan terbang layaknya burung-burung di cakrawala. Kepingan-kepingan puzzle yang banyak berisi gambar-gambar buram yang tak jelas, tikungan-tikungan tajam yang terkadang membuat jatuh bangun, namun bukankah seperti inti dari perjalanan setiap manusia? gambar-gambar tak jelas yang menuntut jawaban, jatuh bangun yang menguatkan, penemuan-penemuan akan arti hidup yang tak akan pernah berakhir sampai ke liang lahat.
Membaca Burung-Burung cakrawala, akan sangat terasa nuansa romantik yang kerap muncul dalam tulisan Mochtar. Pemilihan diksi yang apik membuat pembaca serasa mengalami setiap perjalanan yang digambarkan Mochtar dalam kisahnya. Novel mengenai perjalanan. Demikianlah novel ini adanya. Sedari Mochtar kecil bermukim di Bulukumba, hingga kepindahan keluarganya ke Kota Makassar. Mochtar dengan runut bercerita. Setiap pengalaman-pengalaman yang memberi makna dan turut membangun pola pikir seorang Mochtar Pabbotingi tergambarkan jelas. Begitu pula berbagai peristiwa yang dialami saat Mochtar duduk di bangku kuliah, pergolakan-pergolakan yang disebabkan huru-hara politik untuk memecah Republik pada tahun 1965, turut dialami Mochtar.
Perjalanan selanjutnya ke kota Yogyakarta, membuka cakrawala Mochtar akan dunia kepenulisan, dimana tokoh-tokoh seperti WS Rendra, Kuntowidjodjo serta Sartono Kartodirdjo berada pada puncak produktivitas kepenulisannya. Pelajaran-pelajaran langsung dari para seniman, budayawan, maupun agamawan membuka cakrawala Mochtar semakin luas. Hal ini yang menjadi bekal untuk menghadapi fase-fase selanjutnya di Jakarta, Massachutes, dan Honolulu. Namun tak selamanya hidup berjalan mulus. Pasang surut yang terjadi memberi banyak warna dalam cakrawala Mochtar. Cobaan yang sempat merenggangkan hubungan Mochtar dengan Nahdia istrinya, kelahiran anaknya satu persatu, serta keteguhan istrinya membesarkan tiga anak di negara orang, menjadi pelajaran berharga dalam perjalanan seorang Mochtar Pabottingi.
Bukanlah hal yang mudah membaca novel ini. Selain berkisah mengenai perjalanan hidupnya, Mochtar juga menyertakan pandangan-pandangannya mengenai berbagai fenomena. Untuk itu, pembaca perlu menikmati buku ini perlahan-lahan, meresapi kisah demi kisah sampai serasa mengalami sendiri, hingga dapat memahasi cakrawala berpikir Mochtar. Terlepas dari berbagai kekurangan disana-sini, buku ini sepadan dengan materi dan waktu yang diperlukan untuk mengadakannya sampai ditangan pembaca. (*)
*Yeni Febrianti